Oleh: Ishak Hariyanto
“Aku Mengkonsumsi Maka
Aku Ada”
Berangkat
dari beragam perspektif untuk membaca kehidupan masyarakat di era postmodern saat
ini tidaklah gampang, karena dari berbagai macam perspektif untuk membaca apa
yang menjadi kecendrungan masyarakat di era postmodern saat ini terus berganti
seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Beberapa pendekatan yang
pernah digunakan oleh beberapa filsuf dan para sosiolog untuk mengkaji apa yang
menjadi kecendrungan manusia human
interest saat ini masih belum mampu menemukan titik terang; sebut saja
diantara pendekatan tersebut adalah, psikologi, sosiologi, antropologi, linguistik
dan sebagainya. Beberapa pendekatan tersebut digunakan guna mempermudah dan
memperkuat konsep yang telah dibangun oleh beberapa ilmuan dalam
mendeskripsikan suatu permasalahan kemanusiaan. Meskipun demikian, beberapa pendekatan
tersebut masih belum juga memberikan nafas segar bagi kemanusiaan di era
postmodern saat ini.
Istilah
postmodern yang dijabarkan dalam artikel pendek ini sebenarnya mengacu pada
kegiatan pencarian makna filosofis sebagai
lawan dari kata “modern”. Kata post-modern ini sebenarnya berawal dari kajian kesenian
dan juga kajian terhadap bangunan-bangunan yang menjulang tinggi dan memukau
mata, akan tetapi istilah postmodern saat ini digunakan oleh beberapa filosof
untuk melawan tradisi modern yang masih belum mampu menyelesaikan permasalahan
kemanusiaan kontemporer. Mengapa demikian karena selama ini suatu kajian
keilmuan hanya bekerja dalam tataran luar (surface
structure) bukan pada struktur terdalam (deep
structure), oleh karenanya berdampak pada kemanusiaan karena beberapa ilmu
humaniora atau social sciences saat
ini masih belum mampu menyelesaikan permaslahahan kemanusiaan. Permasalahan
kemanusian kian hari kian mengkristal seiring perkembaangan zaman, namun masih
juga berjalan apa adanya.
Dari beberapa
transformasi yang terjadi, sebut saja transformasi budaya, agama, ekonomi, dan
juga politik. Namun yang masih melekat dalam kehidupan manusia postmodrn adalah
transformasi informasi-tekhnologi yang
super canggih. Transformasi informasi, tekhnologi yang super canggih telah
menusuk dan hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat , sebut saja kehadiran
radio, televisi, internet dan informasi yang serba instan berdampak pada sikap,
mental, life style masyarakat. Tidak
heran jika kehadiran tekhnologi informasi yang supercanggih ditengah-tengah
kehidupan masyarakat merubah desa-desa, perkampungan dan tidak terkecuali
perkotaan menjadi “global village”.
Kehadiran informasi yang serba instan hanya dengan hitunggan menit dan bahkan
detik cukup hanya di “click” maka semua orang mampu melihat dunia yang dulu
asing menjadi tak asing lagi. Dunia hiburan, life style, lagu dangdut, jaz,
pop, dan rock berkembang dimana-mana dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat.
Akibat dari berkembangnya sumber-sumber informasi yang canggih berdampak pada
gaya hidup masyarakat yang semula belum siap menjadi harus siap menghadapinya,
sehingga tidak heran jika masyarakat menjadi ekstasi dan mulai hidup dalam dunia
khayal yang kaya akan imajinasi tinggi dan pada akhirnya masyarakat telah
menjadi korban tekhnologi informasi
tanpa ada filterisasi diri.
Meskipun
demikian, masyarakat lebih senang dan tenggelam dalam dunia yang penuh khayal
dan jauh dari realitas kehidupan. Apabila terjadi demikian maka saatnya manusia
masuk menjadi penonton dan penikmat gaya hidup yang serba menakjubkan dan tak
heran jika masyarakat menjadi “ekstasi” media. Ekstasi terhadap media tersebut
berdampak pada pola pikir masyarakat yang semula hanya penonton media akan
tetapi saat ini menjadi masyarakat konsumeris. Masyarakat konsumeris berdampak
pada gaya hidup, pola pikir, sikap, mental dan bahkan eksistensi manusia diukur
lewat tingkat konsumsinya. Apabila demikian maka saatnya dunia khayal
(simulakra) dan matinya dunia sosial mulai menjalar dalam kehidupan manusia.
Berangkat
dari itu semua, dalam tulisan ini saya tertarik untuk mengkaji seorang ilmuan Postmodern
Prancis Jean Baudrillard yang konsen berbicara tentang kecendrungan manusia
postmodern. Jean Baudrillard lahir pada tahun 1928 dan meninggal pada tahun 2007.
Jean Baudrillard selanjutnya ditulis Baudrillard pada dasarnya ia adalah seorang
Marxian dan sangat dipengaruhi
oleh perspektif Marxian yang menitikberatkan pada persoalan ekonomi.
Karena Karl Marx dan
sebagian besar Marxis tradisional; lebih memfokuskan pada dunia “produksi”. Namun dunia produksi ala Marx
tersebut bagi Baudrillard sudah tidak relevan lagi karena manusia postmo saat
ini sudah tidak berbicara tentang dunia/sistem produksi lagi, akan tetapi saat ini manusia postmo
berbicara dalam dunia “konsumsi. Mengapa demikian; karena bagi Baudrillard di bawah era kapitalis orientasi
manusia hanya pada mode
of production dan pada saat ini masyarakat tidak
lagi demikian akan tetapi lebih pada mode of consumption.
Dari kedua mode tersebut namun mode kedua sangat berdampak bagi kehidupan manusia postmo karena
dari mode kedua tersebut manusia dipandang tidak lebih hanya sebagai objek
semata. Oleh karenanya melalui objek-objek tersebut, seseorang dalam masyarakat
konsumer menemukan makna dan eksistensi dirinya.
Fungsi-fungsi objek konsumer bukan pada nilai guna atau
manfaat suatu barang atau benda, melainkan tanda atau simbol yang
disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup masyarakat media.
Dari itu
semua maka masyarakat saatnya memanipulasi simbol, dan dari simbol tersebut
masyarakat dikalahkan dan tidak lagi melihat realitanya atau dengan bahasa lain
“Isi pesan dikalahkan oleh pengemas pesan”. Apabila dalam suatu
masyarakat sudah terjangkit dengan simbol maka simulakra mulai menusuk kehidupan masyarakat. Dalam
pengertian Baudrillard simulakra ini adalah suatu konstruksi
pikiran imajiner terhadap sebuah realitas, tanpa menghadirkan realitas itu
sendiri secara esensial, dengan kata lain simulakra adalah instrumen
yang mampu merubah hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkret dan konkret
menjadi abstrak. Hadirnya simulakra dalam kehidupan masyarakat
tersebut bukan tidak memiliki tujuan, namun simulakra sendiri memiliki tujuan,
diantara tujuan-tujuan simulakra tersebut adalah; untuk
mengontrol manusia dengan cara menjebak mereka untuk percaya bahwa simulasi itu
nyata, dan juga untuk
membuat manusia tergantung kepada simulasi dan tidak bisa hidup tanpanya. Misalnya Ponsel, Facebook,
TV, Internet dan sebagainya. Dan apabila manusia sudah mulai tergantung kepada
simulakra tersebut maka manusia sudah tidak mampu lagi membedakan mana yang
realita dan yang bukan realita, karena simulakra selalu bersifat
melampui kenyataan dan selalu membawa kebohongan. Misalnya; Iklan
parfum AX yang
apabila seorang lelaki memakainya maka perempuan seisi kota bakal mengikutinya. Iklan
minuman ringan yang dapat membuat seseorang melayang-layang. Dan juga Iklan
multivitamin yang dapat membuat anak cerdas seketika.
Dari beberapa kebohongan yang selalu melampaui
kenyataan yang dibawa oleh simulakra tersebut manusia tidak sadar akan
keberadaannya karena manusia sudah terlanjur menikmatinya. Keterlanjuran
tersebut tentu tidak terlepas dari media-media informasi yang selalu
menyuguhkan beranekaragam informasi, iklan dan gaya hidup. Meskipun demikian,
masyarakat terus masuk dalam dunia simulakra
dan akhirnya lebih cendrung mengkonsumsi simbol, karena orientasi masyarakat
saat ini adalah dunia simbol, dan semakin banyak mengkonsumsi simbol maka
semakin banyak pula social capital yang dimiliki. Semakin banyak social
capital yang dimiliki maka semakin banyak itu pula simbol-simbol yang hadir
di tengah-tengah masyarakat. Dari simbol-simbol yang hadir tersebut maka akan
tercipta suatu distingsi di tengah-tengah masyarakat, karena masyarakat akan
bertarung untuk mengumpulkan sebanyak mungkin simbol dalam kehidupannya dan lebih
terpaku pada konsumsi simbol ketimbang kegunaan. Sebagai contoh; seseorang
akan lebih memilih produk “bermerek” ketimbang produk sejenis lain yang berdaya
guna sama dan berharga lebih murah.
Pertarungan simbol-pun terus terjadi apabila
seseorang terus mengkonsumsi barang-barang mewah dalam hidupnya sehingga
orientasi masyarakat hanya mengkonsumsi atau menjadi masyarakat konsumeris.
Masyarakat Konsumeris bagi Baudrillard cendrung menyamakan
“realitas
dengan tanda-tanda’ dan
eksistensi manusia di lihat dari sifat konsumsinya dan akhirnya memunculkan
istilah “aku mengkonsumsi maka aku ada”. Sifat konsumsi masyarakat semakin tinggi
maka semakin tinggi pula keinginan
sehingga masyarakat sudah tidak lagi berbicara dalam ranah kebutuhan necessary, akan tetapi berubah menjadi
gaya hidup life style.
Dari tingkat konsumsi masyarakat yang semakin tinggi berdampak pada bangkitnya
“drugstore”. Drugstore yang dimaksud pada
dasarnya adalah “toko obat” atau merupakan
istilah yang menunjuk pada minimarket yang menjual berbagai barang kebutuhan
sehari-hari dan umumnya beroperasi 24 jam penuh/hari. Minimarket-drugstore
berupaya menghindari spesialisasi barang dagangan. Meskipun dengan tempat yang
terbatas, berupaya memanfaatkan setiap celah ruang yang ada sehingga beragam
barang dagangan dapat terpampang di dalamnya. Dan dari itu semua mampu menggenjot
konsumerisme masyarakat, terlebih dengan kehadirannya 24 jam/hari di sekitar
kita.
Dari drugstore yang semakin meningkat di atas diakibatkan
karena dunia konsumsi masyarakat semakin tinggi, dan budaya persaingan untuk
mengumpulkan simbol-simbol dan barang-barang mewah berdampak juga pada mode
untuk membedakan diri dengan yang lain atau dengan bahasa lain “distingsi” atau
suatu jarak sosial yang diakibatkan oleh pilihan
selera. Misalnya; konstruksi suatu
kelompok atas musik dangdut sebagai low culture ‘budaya rendahan’
secara langsung bakal berimplikasi pada penilaian kelompok tersebut terhadap
mereka yang menggemari musik dangdut sebagai orang “kampungan”. Dari hal tersebut maka
tingkat konsumsi dapat menentukan tingkat status sosial, karena dalam sistem
kapitalis hubungan manusia telah ditransformasikan dalam hubungan objek yang
dikontrol oleh kode atau tanda tertentu. Perbedaan status dimaknai sebagai
perbedaan konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur dari banyaknya
tanda yang dikonsumsi. Mengkonsumsi objek tertentu menandakan kita berbeda atau
dianggap sama dengan kelompok sosial tertentu. Dan tidak hanya itu akibat
dari tingkat konsumsi tinggi tersebut, masyarakat postmodern kehilangan public
sphere karena mereka ekstasi dengan dunia tanda yang terdapat dalam dunia
informasi dan komunikasi yang amat
kacau, dari kehidupan dan ekstasi
komunikasi yang kacau, seiring dengan
lenyapnya ruang public tersebut, maka ruang
publik tak lagi menjadi tontonan dan ruang privat tak lagi menjadi rahasia.
Perbedaan antara bagian dalam dan bagian luar terhapus seiring dengan rancunya
batas antara ruang publik dan ruang privat. Kehidupan yang paling intimpun, pada saat ini telah
menjadi penopang hidup virtual media.
Kekacauan media yang membuat dunia privat tidak
lagi menjadi suatu rahasia malah telah menjadi tontonan media-media sosial,
sebut saja facebook yang dimana orang bisa membuat status kesehariannya, memposting
foto-foto mereka setiap menit dan detik
sehingga manusia saat ini berhubungan cukup hanya dengan dunia maya tanpa harus
bertemu sehingga memunculkan banyak istilah-istilah yang unik di media masa
seperti “kalau ada yang nyari aku
bilangin suruh aja cari di google”. Intensitas bertemu saat ini sudah
tidak lagi dilihat secara face to face atau bertemu secara langsung,
akan tetapi intensitas bertemu diukur lewat sejauhmana menggunakan media sosial
sehingga harus memunculkan istilah di atas. Penggunaan media sosial yang
belebihan sehingga berdampak pada bangkitnya dunia simulakra dan berakhirnya
kehidupan sosial, karena manusia lebih
senang hidup dalam dunia maya dan menyendiri dan pada akhirnya mereka terjebak dalam simulakra dan tentu dapat dipastikan telah berakhir kehidupan
sosialnya. Sebagai contoh; seseorang
lebih memilih bermain video games di rumah ketimbang bermain di luar
bersama teman-temannya, para ibu rumah tangga yang lebih memilih menonton
sinetron ketimbang melakukan aktivitas sosial di luar, begitu pula para pecandu
internet atau bacaan (komik) yang lebih memilih menghabiskan banyak waktunya
guna melakoni kegemarannya tersebut ketimbang berinteraksi dengan sesamanya. Apabila masyarakat terlalu ekstasi dengan
media-media dalam hidupnya maka hal tersebut mengindikasikan matinya dunia sosial
social life, karena manusia sudah tidak mampu lagi berhubungan secara
nyata, akan tetapi lebih cendrung berhubungan di dunia maya. Dan saat ini juga
masyarakat hidup ditengah-tengah informasi yang amat membludak akan tetapi miskin
akan makna, karena masyarakat selalu menggunakan topeng yang begitu tebal.
Comments