Oleh; Ishak
Hariyanto
pemenang lomba artikel Lombok Sumbawa 2016
Islam memiliki ragam dimensi, salah satu dimensi yang ada di dalam agama
Islam adalah dimensi ajaran atau doktrin. Dimensi ini menjadi titik utama
pengembangan studi Islam di masyarakat dan dilakukan melalui dua pola yang
saling terkait dan menimbulkan
sebab-akibat, yaitu pola doktrinasi dan pola diskursif. Pola pertama
mengidealkan kekuatan struktur objektivitas internalnya, sedangkan pola kedua
mengidealkan kekuatan struktur rasionalitas eksternalnya.
Dalam konteks
doktrinasi, studi Islam membentuk identitas keagamaan yang menjamin
keberlansungan subtansi, fungsi, dan peran agama bagi penganutnya. Sebaliknya
dalam konteks diskursif, studi Islam membentuk rasionalitas keagamaan yang
menjamin tegaknya konstruksi argumentasi subtansi, fungsi dan peran agama bagi
masyarakat. Selanjutnya konteks ini membentuk jati dirinya pada lembaga-lembaga
studi Islam, baik dalam bentuk formal maupun non formal dalam upayanya
mempertahankan sekaligus menjadi sumber dan proses inspirasi dinamika Islam di
dalam masyarakat.
Dalam pandangan
Khoirudin Nasution, studi Islam berkembang dari sorogan dan halaqah di
rumah-rumah para alim ke sistem kuttab (tempat untuk mengajarkan baca-tulis) kemudian ke masjid-masjid—dan kemudian
berlanjut menjadi sistem madrasah. Dari tingkatan masjid ini sebagian murid
melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, madrasah
Pengertian
madrasah disini tidak sama dengan madrasah dalam pengertian madrasah pendidikan
Islam Indonesia. Adapun studi Islam berlanjut ke masjid menjadi pusat
pendidikan dengan sistem halaqah dapat disebutkan bahwa pada tingkatan lembaga
masjid ini merupakan lanjutan dari kuttab.
Kemudian kalau dilihat dari perkembangannya selama Tahun 750-1258 M merupakan
masa kejayaan Muslim. Sementara pasca itu menjadi masa keruntuhan Muslim
sekaligus masa kejayaan Eropa.
Dalam konteks
Indonesia, studi Islam ini berkembang pada saat mulai dengan tradisi belajar
kepada ulama-ulama yang umumnya adalah pedagang, yang sekaligus pembawa Islam
ke Indonesia. Para murid datang menemui guru untuk menanyakan hal-hal yang
ingin diketahui. Kemudian bentuk ini berlanjut dengan sistem langgar, dimana
para murid dan guru baik dalam bentuk sorogan maupun dalam bentuk halaqah—dari
sini kemudian muncul bentuk pendidikan pesantren yang dilanjutkan dengan sistem
kelas, yang diperkenalkan penjajah Belanda.
Pembicaraan Islam
sebagai suatu agama dan seperangkat ajaran, karena Islam merupakan tuntunan dan
pedoman bagi pemeluknya dalam menjalani kehidupan, baik dalam konteks hubungan
manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan
manusia dengan tuhannya. Idealitas tersebut menempati ruang utama dalam
khazanah pertumbuhan dan perkembangan penelaahan tentang Islam dari zaman ke
zaman. Idealitas Islam tersebut merupakan visi dan misi yang selalu
mendatangkan inspirasi bagi para pemikir Islam untuk menerjemahkan dan
merealisasikan makna di atas. Meskipun demikian, inspirasi-inspirasi yang
tertuang dalam studi Islam justru belum dianggap mampu memberikan jawaban atas
persoalan umat. Bahkan studi Islam hadir, tetapi justru terlepas dari masalah
nyata yang dihadapi umat Islam.
Menarik Islam dalam konteks tantangan merajut
benang kusut pendidikan moral di NTB yakni tantangan pendidikan yang hanya berbasis
pada pencapaian kecerdasan (kognitif) semata namun bukan yang berbasis pada kebaikan, kepatuhan, saling
menghargai dan menghormati (moral). Menyimak kembali
undang-undang dan sistem pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 yang
mengatakan pendidikan adalah usaha sadar yang terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pendidikan agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Implementasi dari undang-undang
pendidikan di atas tidak mampu memberikan wajah segar karena masih menyisakan banyak penyimpangan
deviasi moralitas di
lingkungan pendidikan. Dan
bahkan para pelajar saat ini bersikap dan bertindak diluar batas mereka. Oleh
karenanya, tidak salah apabila muncul asumsi
bahwa pendidikan formal saat ini hanya dijadikan sebagai
panggung pentas untuk memperoleh rangking di sekolah.
Pentas pendidikan
yang hanya mengarah pada pencapaian ranking di sekolah dan kepintaran
intelektual (kognitif) tersebut tidak mampu menjawab tantangan moral (rekognitif)
sehingga tidak menutup kemungkinan manusia jauh dari
moralitas. Pendidikan moralitas yang
berjalan dalam institusi-institusi pendidikan saat ini hanya dalam ranah
akumulasi pengetahuan semata; dalam arti setiap pendidikan yang terjadi hanya
untuk tahu sehingga moral lebih cendrung disampaikan lewat ceramah-ceramah
secara kognitif. Padahal dalam pendidikan moral harus melibatkan tindakan
secara praksis. Oleh karenanya, untuk membangun pendidikan moral harus disikapi dengan sentuhan hati, pembiasaan, menyentuh perilaku,
dan saling merangkul. Mengapa demikian
karena pendidikan tanpa
moral akan menjadikan anak sebagai seorang yang munafik, yaitu apa yang ada
dalam pikirannya tidak berjalan dengan tindakannya.
Dari hasil
diskusi penulis dan mengikuti pelatihan “Pembelajaran Rekognitif Berbasis
Masyarakat yang diadakan di Pendopo Walikota minggu lalu bersama M. Husni
Muadz, Hayyan Ul Haq dkk mengungkapakan di NTB ini tingkat pendidikan sangat
jauh dari harapan dan penuh dengan kerusakan, kemaluan sosial social shame yang mencoreng wajah
kolektif, mental dan moralitas. Dan kerusakan tersebut kita menganggap sebagai
suatu yang normal padahal itu adalah penyimpangan yang terjadi. Oleh karenanya,
tentu semua itu adalah tugas kita bersama untuk memeranginya dengan cara bertindak
bak mengurai benang yang kusut dalam melakukan gerakan perubahan bukan sebagai
penonton, layaknya penonton sepakbola.
Disamping itu
juga, permasalahan moral pendidikan
memang menjadi isu yang sangat seksi dan
global sehingga menjadi kehawatiran bagi semua orang saat ini. Terlebih lagi para orangtua, mereka
pasti ingin memberikan bekal bagi putra
putrinya agar kelak sukses di dunia dan selamat di akhirat. Mereka ingin
putra-putri mereka siap dan terbuka terhadap modernisasi, namun tetap memiliki
nilai-nilai moral dan etika yang kuat
sehingga mampu menjaring arus informasi yang diakses dan mendayagunakannya.
Namun banyak orangtua yang belum menyadari bahwasanya pendidikan moral
diperoleh pertama kali dari orangtua sendiri, sebab orangtua merupakan orang
pertama yang dikenal dan berinteraksi dengan anak. Jadi bisa dikatakan bahwa
orangtua merupakan pendidik yang utama dan yang pertama bagi anak.
Lengkap rasanya
kerusakan moral pendidikan kita apabila kita menilik pemberitaan di media-media
lokal NTB. Mulai dari kasus pencabulan,
pemerkosaan, pembunuhan, berhubungan intim antara anak dan ibu, ayah dengan
anak. Apa yang salah dengan sistem
pendidikan kita, sehingga untuk memberikan angin perubahan moral anak masih
belum berhasil, ataukah memang seperti yang dikatakan di atas mental pendidikan
kita hanya mengejar nilai/ranking bukan mengejar nilai-nilai kebaikan,
kepatuhan, bersama, dan saling menghargai.
Fenomena ini
tentu tidak bisa lepas dari arena pendidikan kita yang hanya mengejar
kecerdasan kognitif semata namun
tidak mengejar ranah moral rekognitif.
Untuk dapat memahami dua term kognitif
dan rekognitif tersebut, alangkah
baiknya penulis memberikan definisinya. Kognitif
merupakan suatu proses pendidikan yang melandingkan (mengantarkan) individu
untuk dapat mengetahui, memahami, menginterpretasi dan menginternalisasi sampai
pada tahap pengembangan secara konseptual. Proses pemahaman suatu obyek dapat
diperoleh melalui model pendidikan yang bersifat one way (satu arah) yaitu
subyek (pemberi) ke obyek (yang diberi), tanpa harus mensyaratkan adanya relasi
antar subyek-subyek saling berterima intersubyektif.
Di sisi lain, implementasi pendidikan yang selama ini berjalan di berbagai
kampus dan sekolah, belum tercipta suatu model pendidikan yang mampu
mengaktualisasikan pengetahuan ke dalam tindakan nyata. Padahal, kita menyadari
bahwa untuk sampai pada kompetensi moralitas, etika dan perilaku yang
diidealkan harus melalui sebuah proses panjang, baik untuk mengetahui,
keterampilan menerapkannya dan kemampuan mengevaluasi perilaku. Akan tetapi,
seolah-olah guru tidak mau tau dengan perilaku anak didik kita, yang penting
konsep atau materi pelajaran sudah disampaikan dan dimengerti. Konsep pendidikan
seperti itu seolah-olah guru mempsosisikan anak didik sebagai benda mati yang
mampu merekam informasi-informasi yang disampaikan.
Fenomena inilah yang sedang terjadi di dunia pendidikan
kita. Setiap individu (pelajar) dapat memahami arti kebaikan, moralitas, value.
Akan tetapi, tidak semua individu dapat mengaplikasikannya ke dalam kehidupan
sehari-hari sampai pada tahap tindakan. Dalam konteks kognitif, berikut adalah
komponen-komponen yang terdapat dalam ranah pendidikan kognitif: a) Pemahaman,
b) Pertimbangan, c) Pengolahan informasi
(sensorik), d) Analisis, e) Inisiatif, f) Kemampuan sintesis, g) Evaluasi, dan
h) perencanaan.
Produk yang dihasilkan dari pendidikan
kognitif ini hanya melahirkan akademisi, cendekiawan dan pelajar. Dari produk
itu, tidak menjamin perilaku bangsa akan menjadi lebih baik kalau pendidikan
selama ini hanya mengedepankan pendidikan kognitif sehingga yang dapat
dihasilkan dalam pendidikan kognitif adalah lahirnya para intelektual dan
cendekiawan yang pintar ngomong namun kurang dalam tindakan. Alih-alih pendidikan
kognitif melahirkan para intelektual yang pandai “berspekulatif” semata.
Seperti maraknya kegiatan diskusi, seminar, lokakarya, berdebat tanpa ada yang
saling dengar satu sama lain.
Pendidikan saat ini jauh dari esensi yang
sebenanrya, yakni memberikan pendidikan yang berisfat praksis (moralitas),
keberterimaan, berdialog, menjalin komunikasi secara terbuka. Pendidikan
kognitif ini memberikan wajah yang suram terhad generasi bangsa, karena hanya
mengejar nilai, rangking dan ijazah kelulusan. Apakah dibalik itu semua tidak
ada yang sadar ataukah tidak ada yang mau berbuat untuk mengubahnya, ataukah
nalar pendidikan kita masih prematur untuk menghadapi segala perubahan.
Penulis sendiri begitu risih melihat fenomena
percaturan pendidikan kita saat ini, seringkali penulis berkunjung ke
universitas, sekolah-sekolah, dan pondok pesantren. Yang menjadi buah bibir di
semua institusi tersebut hanya uang, dana bos, gaji dan proyek-proyek lainnya.
Dan bagaimana mengumpulkan pundi-pundi uang sebanyak mungkin, serta meninggikan
status sosial di tengah-tengah
masyarakat. Akibat dari itu semua, para pendidik dan para pemimpin kebijakan
tidak lagi berbicara dalam konteks bagaimana membangun pendidikan yang lebih
kondusif dan membangun para peserta didik mampu menjadi orang yang pintar dalam
ranah intelektual, emosional dan juga moralitas.
Untuk mengetahui Implikasi dari pendidikan
kognitif selama ini hanya berjalan dalam ranah materi dan kekuasaan dan tidak
berjalan dalam situasi yang normal. Pendidikan saat ini bagaikankan kaum
kapitalis yang terus mengumpulkan profit dan nilai lebih, dan membuat institusi
pendidikan menjadi ladang subur dalam menjalankan bisnis, hanya berkedok pendidikan
sebagia sarana membangun kemanusiaan, akan tetapi mereka hanya menggunakan
topeng ala Jean Baudrillard yang mengatakan semua masyarakat saat ini selalu
menggunakan topeng dibalik pendidikan all
societies end up wearing masks. Apabila semua orang menggunakan topeng dan
kedok pendidikan saat ini kapan akan dimulai pencerahan pendidikan yang menjadi
idaman masyarakat.
Dalam analisis sosiologi kritis pendidikan
Pierre Bourdieu mengatakan bahwa dunia pendidikan saat ini sarat akan
pembentukan modal sosial social capital,
dengan jalan pendidikan sebenarnya lahan yang subur dalam menciptakan
kapital-kapital baru, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa para pendidik
menikmati dunia tersebut. Bourdieu mengatakan pendidikan adalah suatu proses
penciptaan ulang dominasi sosial yang telah ada sebelumnya. Oleh karenanya, pendidikan menutup pintu bagi
orang-orang yang tidak memiliki habitus maupun kapital sebagai seorang
pembelajar. Dan akhirnya terjadi penolakan apabila orang-orang ini tidak sesuai
habitus dan arenanya dalam dunia pendidikan, karena mereka sebagai kelas
ekonomi bawah yang memang tidak memiliki habitus maupun kapital untuk belajar
secara akademik. Pada dasarnya pendidikan yang ada di tengah-tengah masyarakat
saat ini adalah proses untuk melanggengkan dominasi sosial, dan
kebenaran-kebenaran yang sudah dianggap mapan di tengah-tengah masyarakat. Jadi
dunia sosial mereproduksi kebenarannya sendiri melalui pendidikan. Dan
karenanya, pendidikan formal tidak mampu kritis, karena memiliki tujuan untuk
melanggengkan dominasinya sendiri, bahkan
pendidikan merupakan arena untuk melanggengkan kelas sosial tersebut.
Dominasi dalam dunia pendidikan sering
terjadi, sehingga dari itu semua akan tercipta distingsi dan resistensi.
Distingsi ini bisa diartikan sebagai tindakan membedakan diri dari
orang lain untuk menunjukkan kelasnya dalam masyarakat.
Akibat dari perbedaan itu, maka muncul perlawanan-perlawanan di
sekolah-sekolah. Sekolah mulai memisahkan diri sebagai sekolah unggulan,
sedangkan sekolah yang lain mencari jati diri juga sebagai sekolah unggulan
pula, dan akhirnya menciptakan dunia pendidikan yang penuh dengan nuansa
pertarungan-pertarungan serta persaingan kekuatan simbol.
Pertarungan simbol tersebut akan terus
berlangsung apabila dunia pendidikan tidak mau mengubah pola pikir. Dominasi
dan resistensi terus terjadi, akibatnya hubungan antar manusia tidak lagi
berjalan secara seimbang subyek-subyek, akan tetapi manusia selalu berhubungan
dalam situasi subyek-obyek. Pendidikan saat ini seolah-olah menciptakan teroris
baru yang berkedok intelektual dan akademik. Kenapa seperti itu, karena
masing-masing orang saat ini hidup dalam dunia pendidikan dan selalu mengejar
kecerdasan intelektual untuk membangun kekuatan untuk mendominasi bukan lagi
untuk berbagi bersama take and give.
Orang-orang yang terdidik menciptakan kapital baru dalam hidupnya untuk
melakukan dominasi bagaikan teroris yang membuat resah para lawan. Oleh karenanya, tidak heran jika pendidikan
selama ini telah gagal karena telah menciptakan teroris yang berkedok
intektual.
Kontras sekali dengan pembelajaran rekognitif.
Kata rekognitif ini berasal dari bahasa Inggris yakni recognition yang berarti pengakuan
atau penghargaan. Akan tetapi dalam bahasa
Indonesia recognition ini
diterjemahkan menjadi rekognitif. Dan kata rekognitif dalam konteks pendidikan
diartikan menjadi suatu konsep pembelajaran
yang berbasiskan kemanusiaan dalam membangun hubungan antar sesama tanpa syarat
(intersubyektifitas), bagaimana menjadi damai, saling berterima dalam
hidup bermasyarakat. Hubungan berterima tersebut merupakan nilai-nilai yang
harus ada dalam pendidikan rekognitif. Tidak hanya itu, rekognitif juga adalah pembelajaran yang mengedepankan
nilai-nilai moral seperti perilaku baik, kepatuhan, kemaafan, sabar, berterima
satu sama lain, dermawan dan lain-lain. Disamping itu juga, pembelajaran rekognitif adalah suatu
konsep pendidikan non-material, dan
selalu menyaratkan komunikasi verbal dan non verbal diantara semua makhluk
untuk terus menjalin komunikasi dengan efektif. Dikatakan efektif karena ada
perubahan diantara semua sistem sehingga untuk mewujudkan tujuan di atas
maka nilai-nilai rekognitif atau perilaku-perilaku baik harus menjadi basis
dalam setiap pembelajaran.
Mengapa pembelajaran
rekognitif harus mengedepankan nilai-nilai di atas, karena fakta yang terjadi
sekarang adalah secara kognisi masyarakat memahami nilai-nilai kebaikan
tersebut, bahkan sumbernya sekalipun. Masyarakat tahu akan nilai-nilai kebaikan
tersebut, apa yang dilarang, pandai berbicara tentang konsep nilai-nilai
kebaikan. Akan tetapi terjadi ketidak seimbangan antara pemahaman dan perilaku
karena pendidikan formal baru menyentuh ranah kognisi saja, tak perlu di
pungkiri lagi output dari sekolah formal sekarang ini adalah orang-orang yang
pintar tapi bukan orang-orang baik.
Dalam pembelajaran
ini juga medium yang menarik untuk dikaji adalah bahasa, karena bahasa dalam pendidikan
rekognitif menjadi hal yang sangat urgen. Keurgenan tersebut karena bahasa merupakan makhluk yang sangat
unik dan bahkan manusia tidak bisa lepas darinya. Manusia tidak bisa hidup
tanpa bahasa, karena bahasa adalah alat pemersatu, dan bahkan alat pemisah dan
sekaligus sebagai alat untuk membangun hubungan dengan siapapun. Bahasa adalah sistem lambang. Yang dimaksud
lambang di sini adalah tanda yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial
berdasarkan perjanjian untuk memahami dan mendeskripsikannya. Bahasa sebagai
sistem tanda, karena tanda adalah hal atau benda yang mewakili sesuatu yang
menimbulkan reaksi yang diwakilinya. Jadi lambang adalah sejenis tanda yang
bermakna bagi kegiatan komunikasi manusia. Oleh karenanya bahasa dikatakan
begitu sangat urgen, maka kita harus mempelajarinya.
Selanjutnya karena bahasa itu disebutkan suatu
lambang dan mewakili sesuatu, maka bahasa itu memiliki makna dalam arti
berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam masyarakat yang memakainya.
Dengan demikian, bahasa merupakan sistem lambang mengandung arti tanda yang
harus dipelajari oleh para pemakainya.
Karena itu bahasa bersifat konvensional.
Bahasa itu sistem bunyi. Artinya bahwa bahasa merupakan bunyi ujaran
yang dikeluarkan oleh alat ucap yang mengandung makna. Bunyi ujaran ini
merupakan objek utama/primer bagi kajian linguistik sedangkan bahasa tulis
sebagai kajian sekunder.
Tidak hanya itu, bahasa dalam pendidikan
rekognitif juga berperan sebagai suatu sistem. Sebagimana sistem yang lain,
bahasa itu terdiri atas unsur-unsur yang tersusun secara teratur. Bahasa itu bukanlah sejumlah unsur
yang terkumpul secara acak atau tidak beraturan. Unsur-unsur bahasa diatur
seperti pola-pola yang berulang, sehingga kalau salah satu unsur saja tidak
muncul, keseluruhan unsur itu dapat diramalkan (diduga) kehadirannya.
Bahasa sangat
berperan penting dalam pembelajaran rekognitif, karena bahasa merupakan
tindakan seperti yang dikatakan oleh Austin. Merujuk bahasa
sebagai suatu tindakan, bahwa bahasa mulai di perkenalkan pada tahun 60-an,
bahasa adalah tindakan dengan berkata-kata. Jika tuhan bisa menciptakan dunia
dengan bahasa “kun fayakun” maka terciptalah, dan manusia juga bisa menciptakan
kemerdekaan dengan bahasa, kita bisa menciptakan perceraian dengan bahasa,
pernikahan dengan bahasa, kita bisa menyatukan umat dengan bahasa, kita bisa
menyatakan perasaan dengan bahasa, perkelahian dengan bahasa, jadi peran bahasa
adalah sangat sentral. Semua orang punya bahasa, semua orang mampu berbahasa.
Jika bahasa mampu menyatukan segala sesuatu, maka pembelajarannya dimulai dari bahasa sehingga tidak mungkin terjadi persatuan jika tidak
ada bahasa dan pertemuan. Kemudian berbahasa adalah syarat kedua dalam pembelajaran rekognitif, karena
syarat pertama adalah perjumpaan, jadi perjumpaan dan bahasa adalah syarat
sebagai pembelajaran
rekognitif.
Seperti yang
dikatakan di atas bahwa pembelajaran rekognitif tidak bisa lepas dari bahasa, karena
pembelajaran rekognitif merupakan pembelajaran
yang berkatian dengan bagaimana menerapkan nilai kebenaran dalam ranah
tindakan manusia. Pendidikan selama ini telah terjadi
ketidak seimbangan antara pemahaman, dan perilaku (moralitas) karena pendidikan
formal baru menyentuh ranah kognisi saja, tak perlu di pungkiri lagi output
dari sekolah formal sekarang ini adalah orang-orang yang pintar tapi bukan
orang-orang baik. Maka untuk menjawab hal tersebut pembelajaran rekognitif memberikan jalan keluar dan hal-hal yang
harus dilakukan dalam setiap institusi pendidikan.
Dalam pendidikan
kognitif bahwa institusinya adalah Sekolah, Ponpes dan Universitas, sedangkan
dalam pembelajaran rekognitif institusinya adalah komunikasi atau dialog.
Komunikasi adalah tempat berlatih untuk menghilangkan paksaan dalam
mengekspresikan kebenaran. Komunikasi adalah institusi yang tidak bisa
dihindari oleh setiap orang karena semua orang membutuhkan komunikasi dalam
menjalin suatu hubungan tanpa syarat. Komunikasi adalah pendukung dalam sistem
sosial pembelajaran rekognitif, karena tanpa komunikasi/bahasa maka dalam suatu
kelompok masyarakat belum bisa dikatakan masyarakat yang komunikatif.
Komunikasi juga sebagai tujuan manusia untuk memahami dan menginterpretasikan
fenomena sekelilingnya. Komunikasi/bahasa merupakan modal sosial yang sangat
penting yang dimiliki manusia untuk berinteraksi, memelihara, mengukuhkan, dan
mengkonversi untuk saling mengubah, karena dalam bahasa terdapat unsur
moralitas dalam menciptakan tindakan bersama collective action.
Pembelajaran rekognitif
selalu berkaitan dengan perspektif orang kedua second perspective yaitu perspektif sebagai pelaku, karena ada dialog yang terjadi sehingga mampu
mempengaruhi subyek dalam bertindak. Sedangkan pendidikan kognitif
mengggunakan perspektif orang ke tiga third
perspective, yaitu perspektif sebagai pengamat. Kesalahan penggunaan
perspektif mengakibatkan kegagalan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Second
perspective ini mengindikasikan
subyek sebagai pelaku dan bukan sebagai penafsir. Dan institusi untuk
menciptakan orang yang baik, jujur, bertanggungjawab, komitmen adalah dengan pembelajaran
rekognitif. Di dalam pendidikan ini harus adanya kesesuaian antara tindakan
dengan ucapan. Pembelajaran rekognitif berkaitan secara praksis (moralitas),
karena moraliatas adalah satu-satunya ilmu yang berkaitan dengan budi manusia
yang bersifat praksis.
Tidak hanya itu, pembelajaran rekognitif ini harus berjalan secara relasional dan
menjalankan komitmen (menepati janji). Komitmen dalam hal ini menjadi penting,
karena berhasil atau tidaknya suatu pendidikan tergantung dari apa isi komitmen
yang dijalankan. Mengapa penting menjalankan komitmen dalam hidup kita, karena
komitmen ini adalah bagian dari pendidikan. Pendidikan yang terjadi dari
komitmen tersebut karena telah memenuhi janji. Berjanji bukan karena ada hal
yang menarik untuk dibicarakan, atau motif-motif lain seperti paksaan, ataupun
senang-senang saja. Akan tetapi nilai yang ada dalam komitmen yang dijalankan
oleh manusia karena telah memenuhi janjinya untuk datang, dan siapapun yang
menjalankan komitmen untuk datang itu karena semata-mata mereka hadir untuk
mengisi janjinya.
Jangan sampai dalam suatu institusi pendidikan,
komunitas, dan organisasi manapun ketika menjalankan komitmen tidak memenuhinya
atau semau-maunya, mau datang mau tidak. Apabila itu terjadi maka akan ada
pembiasaan-pembiasaan yang kurang baik seperti menganggap remeh janji dan
pertemuan. Apa isi dan value dari memenuhi janji, yakni agar pesan moral dalam
rangka berkomitmen untuk memenuhi janji tersebut bisa terjadi. Oleh karenanya,
niat awal dari kegiatan apapun selalu terjadi atas dasar memenuhi janji, dan
siapapun mereka yang akan datang untuk memenuhi janji hanya karena mereka ingin
penuhi janji semata. Jadi siapapun yang belajar, berdiskusi, dan mengadakan
pertemuan-pertemuan apapun, itu terjadi bukan karena spirit ingin bisa, pintar,
atau sekedar mencari teman untuk berkumpul, akan tetapi karena mengisi janji
mereka. Maka dari itu, kita tidak bisa membuat alasan untuk membatalkan suatu
janji, karena hanya Allah yang bisa menghalangi janji, misalnya karena sakit
parah, atau bencana banjir yang tidak bisa kita memenuhinya. Karena yang sering
terjadi selama ini adalah orang berjanji dan tidak memenuhinya seperti tidak
ada beban, mau dipenuhi atau tidak seakan-akan tidak mempengaruhi dirinya dan
tidak merasa bersalah dengan tidak memenuhinya.
Comments