A.
Latar
Belakang
Diskusi
tentang fenomena kepemimpinan perempuan dalam Islam sebenarnya satu paket
dengan isu sistem negara Islam, namun isu sistem negara Islam pasca tahun 1924
menjadi isu yang lebih dahulu hadir. Amien Rais dalam pengantarnya mengatakan,
“Setelah berakhirnya sistem Khalifah di
Turki pada tahun 1924, dunia Islam mulai ramai membicarakan konsep negara Islam”.
Negera Islam terpecah menjadi negeri-negeri kecil dan menumbuhkan
pemimpin-peminpin baru. Mereka saat ini mencari bentuk-bentuk sistem
pemerintahan yang ideal untuk dipakai dan inilah imbas selama masa penjajahan
barat atas dunia Islam, Amien melanjutkan, “kaum
muslimin tidak sempat dan juga tidak mampu berfikir tentang ajaran agama mereka
secara jelas, komprehensip dan tuntas mengenai berbagai masalah”.[1]
Dalam
diskursus kepemimpinan perempuan dalam Islam terdapat dua kubu yang
bertentangan, Kubu yang setuju dan terdapat pula kubu yang sebaliknya. Dari dua
kubu yang kontra ini, masing-masing mempunyai argumen dan dasar yang kuat. Mulai dari yang mengharamkan dengan bersandar
pada surat An
Nisa ayat 34. Allah berfirman “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),…”(QS:
An Nisa: 34)[2]. Sampai kepada yang memperbolehkan dengan
bersandar pada penghargaan terhadap cerita-cerita tentang Ratu Bilqis di dalam
Alqur’an. Yakni surat An Naml 23-44. Yang artinya: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang
wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta
mempunyai singgasana yang besar”(QS: An Naml: 23), dan
diceritakan pula dalam ayat 44 yakni “Dikatakan kepadanya: "Masuklah
ke dalam istana." Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya
kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman:
"Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca." Berkatalah
Bilqis: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku
dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam"(QS:
An Naml: 44).
Lebih
jelas mengenai kepemimpinan baik laki-laki maupun perempuan Nabi Muhammad Saw.
dalam Sabdanya mengatakan: “Seorang diantara
kalian adalah pemimpin dan akan dimintai tanggung jawab atas kepemimpinan. Seorang
imam adalah pemimpin dan dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya.seorang
suami adalah pemimpin di tengah keluarganya dan akan dimintai tanggung jawab
atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin dan akan di akan ditanya
soal kepemimpinannya”.[3]
Makalah
ini tidak akan menilai mana yang benar dan mana yang salah tentang kepemimpinan
perempuan, akan tetapi mencoba untuk mengurai masalah politik yang berkaitan
dengan Islam, karena saya meyakini akar dari perdebatan ini adalah politik,
Islam dan wanita.
B.
Pembahasan
Politik
hadir jauh sebelum Nabi Muhammad lahir. Politik adalah sesuatu yang
membicarakan tentang apa yang sebaiknya kita lakukan dan apa yang sebaiknya
tidak kita lakukan. Namun ada juga manusia yang menggunakan politik sebagai
alat untuk mendapatkan sesuatu dengan segala cara-cara “Negatif”[4]. Karena
politik lebih dahulu hadir, Kaum muslim baik itu laki-laki maupun perempuan mengarahkan
politik guna mencapai kemaslahatan-kemaslahatan umat. Kata “berlomba-lomba dalam kebaikan” menjadi
pemicu kaum muslim bahu mambahu, berlomba-lomba untuk berdakwah[5]
tidak hanya malalui lisan namun juga tenaga, pikiran serta materi. Rasulullah
pernah bersabda: “Barangsiapa yang
melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka
cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan
mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman”(Al
Hadist)
Politik
hakekatnya adalah sebuah alat untuk mendapatkan kemaslahatan-kemaslahatan, ia
mempunyai sifat pengganda yang luar biasa. Bayangkan saja, apabila kita hendak
bersedekah atau menolong anak yatim dengan menyisihkan gaji kita perbulan, maka
kita hanya mampu menolong satu anak yatim. Kemudian kita coba kumpulkan penghasilan seluruh
anggota keluarga kita, maka mungkin kita hanya mampu menolong sepuluh anak
yatim, apabila kita membangun lembaga sosial kita membantu anak yatim, maka
kita kira-kira bisa menolong seratus sampai dua ratus anak yatim, kemudian
bayangkan jika kita duduk diparlemen, menduduki pemerintahan, maka berapa anak
yatim yang bisa kita tolong.
Oleh
sebab itu, efek pengganda politik inilah yang mendorong umat Islam baik itu
laki-laki maupun perempun terjun ke dunia politik. Karena efek penggandanya
yang begitu masif guna mencapai kemaslahatan umat, sehingga jangan heran jika
menemukan sebagian orang baik itu laki-laki maupun perempuan berjuang untuk menolong
melalui politik atau disebut dengan berdakwah melalui politik.
1. Kepemimpinan
Perempuan dalam Islam
“Seorang Istri Adalah Pemimpin Dan Akan
Ditanyai Soal Kepemimpinannya” HR: Bukhari.
Genggap
gembita nama-nama wanita sebagai pemimpin sebuah negara merupakan salah satu indikasi dari krisis
kepemimpinan yang terjadi, kerinduan akan seorang pemimpin yang merakyat
menjadi pelengkap selanjutnya. Riswanda
imawan mengutip kata-kata Rubenstein dan thumm (1970) dalam bukunya Membedah
Politik Orde Baru[6], “ pemimpin
harus mempunyai dua basis utama: cakap memimpin dan populer”.[7]
Di
saat krisis kepemimpinan di suatu negara, di mana pemimpin-pemimpin laki-laki
sudah tidak lagi mendapat legitimasi dari rakyat, di saat itulah pemimpin
perempuan hadir. Kepemimpinan perempuan yang bentuknya bervariasi baik itu
kepala negara maupun kepala pemerintahan tingkat bawah seperti Gubernur, Bupati
dan Wali Kota. Munculnya perempuan sebagai pilihan alternatif, ini dan terbukti
dengan banyak perempuan yang menjadi kepala negara, perdana menteri misalnya Perdana
Menteri Pakistan, Benazir Bhutto menjadi kepala negara dua periode yakni mulai
tahun 1988-1990, kemudian periode kedua tahun 1993-1996[8].
Lalu di Bangladesh sudah terdapat dua pemimpin perempuan yaitu Khaleda Zia dan
Sheik Hasina. Bangladesh, negara yang
memisahkan diri dari Pakistan pada 1971. Khaleda Zia (1991-2006) dan Sheikh
Hasina.yang berkuasa dua periode yakni tahun 1996-2001 dan 2009- sampai
sekarang. Di Indonesia ada nama-nama seperti Megawati, Tri Rismaharini, Ratu
Atut dan lain-lain.
Kepemimpinan
laki-laki tidak bisa menjamin akan membuat rakyat sejahtera, karena dalam
faktanya tidak banyak pemimpin-pemimpin laki-laki yang menggunakan politik
sebagai senjata untuk mempertahankan kekuasaan, meraup sumberdaya alam,
korupsi, dan lain-lain. Begitu juga halnya dengan kepemimpinan perempuan,
banyak juga yang berbuat sama. Segala kemungkinan-kemungkinan penyelewengan
kekuasaan bisa saja terjadi, karena manusia baik laki-laki maupun perempuan
diliputi godaan-godaan sebagai ujiannya yang dilancarkan syetan setiap saat[9],
sehingga manusia itu adalah mahluk yang lekat dengan lupa dan dosa, namun
sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang segera bertobat dan selalu
mengintrospeksi dirinya untuk tindakan-tindakan di masa depan.
Nabi
Muhammad tidak mewasiatkan untuk mendirikan negara Islam, juga tidak memberikan
isyarat untuk memilih pemimpin setelahnya, apakah wanita atau pria. Tidak
ditemukan juga dalam Al-Qur’an sistem negara yang baku, sehingga permasalahan
politik adalah kebebasan individu yang dianggap sebagai alat untuk menggapai
kemaslahatan yang masif bagi umat, membebaskan siapa saja untuk terjun ke dunia
politik dengan memenuhi syarat-syarat dengan berpedoman teguh kepada al-Qur’an
dan Sunnah. Allah berfirman dalam al-Qur’an “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”(QS: An Nissa: 58)[10].
Soal
agama, soal haram dan halal, soal ketaatan, soal tauhid, soal akidah, soal
ibadah, semua umat muslim wajib berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad
Saw. Soal ilmu Dunia Rasulullah bersabda: “Antum
Aklamu Bi Umuri Duniakum”(HR: ) yang artinya: anda lebih tahu daripada
diriku, tentang ilmu dunia kalian.
Kepemimpinan
perempuan menjadi kontroversi dalam tinjauan syariah Islam karena ada perbedaan
ulama tentang hadits sahih yang diriwayatkan oleh abu Bakrah di mana Nabi
menyatakan bahwa “lan yaflaha qaum wallauw
amrahum amra’at” (HR Bukhari).[11]
Keadaan
diperparah ketika gaung emansipasi wanita dan hak asasi manusia yang selama ini
aman-aman saja di fihak umat Islam, kemudian datang isu emansipasi dari barat
mencuat kepermukaan. Karena Islam telah nempatkan hak-hak perempuan pada
tempatnya begitu juga dengan laki-laki. Dalam sejarahnya Islam datang
ditengah-tengah dekadensi moral yang tidak menganggap perempuan sebagai manusia
selayaknya. Kisah ini diceritakan dalam al-Qur’an Az Zuhruf ayat 17 yang
artinya “Padahal apabila
salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang
dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam
pekat sedang dia amat menahan sedih”(QS: Az
Zuhruf:17) Maksud ayat ini ialah bilamana dia diberi kabar
tentang kelahiran anaknya yang perempuan, mukanya menjadi merah padam karena
malu dan dia amat marah, padahal dia sendiri mengatakan bahwa Allah mempunyai
anak perempuan. Maka Islam datang, kemudian menghapuskan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan.
Diakui
pemarginalisasi pertama kali dirasakan oleh perempuan non muslim yakni Yahudi
dan Kristen. Disadari adanya bias nilai-nilai patriarki dan bias gender,
kemudian isu gender itupun muncul di dunia Islam pada periode modern mulai
tahun 1800 M, yakni ketika dunia Islam telah bersentuhan dengan dunia Barat (Eropa)[12].
Di Indonesia,
Kontroversi
pemimpin perempuan sebenarnya sudah mulai berhembus jauh sebelum pemilu 1999.
Pro kontra ini berasal dari berbagai lapisan masyarat mulai dari politisi
partai yang berbasis Islam maupun dari kalangan non-partai termasuk akademisi,
aktivis ormas Islam, bahkan kalangan santri yang secara kultural berafiliasi ke
NU (Nahdlatul Ulama).
Mulailah
tokoh-tokoh berdebat antara mengharamkan perempuan menjadi pemimpin dan
mendukung perempuan menjadi pemimpin.
Titik
tekan dalam pertentangan tersebut diantaranya adalah:
Surat
An Nisa 4:34[13],
Surat Al Ahzab 33:33[14],
Surat Al-Ahzab 33:53[15],
Surat Al-Baqarah 4:282[16],
Surat At Taubah 9:71[17],
Surat An-Naml ayat 27:23-44[18],
Hadits Nabi: “Wanita adalah saudara dari
laki-laki.”, Hadits Nabi: “Allah
mengizinkan kalian perempuan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhanmu.”, Aisyah
memimpin tentara laki-laki dalam perang Jamal, Umar bin Khattab mengangkat
wanita bernama As-Syifa sebagai akuntan pasar. Hadits sahih riwayat Bukhari
dari Abu Bakrah, Nabi bersabda: “Tidak
akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada wanita”.
a. Ulama
Yang Tidak Membolehkan
Berbagai
kalangan terlebih tokoh Islam mengharamkan kepala negara dari perempuan,
tentunya itu berdasarkan argumennya terutama pada QS An Nisa 4:34 dan hadits
dari Abu Bakrah di atas. Dari kedua nash
tersebut kalangan ahli fiqih salaf, termasuk madzah empat berpendapat bahwa al-Imam
harus dipegang seorang laki-laki dan tidak boleh diduduki seorang perempuan.
Diantara
ulama-ulama yang kontra ini adalah:
1) Ibnu
Katsir
Ibnu Katsir, dalam (Ismail bin Umar
Ad-Dimashqi, Tafsir Ibnu Katsir, hlm. II/293-293).
misalnya, menafsiri QS An-Nisa 4:34 menyatakan yang artinya:
“Laki-laki
adalah pemimpin wanita… karena laki-laki lebih utama dari perempuan. Itulah
sebabnya kenabian dikhususkan bagi laki-laki begitu juga raja yang agung; …
begitu juga posisi jabatan hakim dan lainnya… Ibnu Abbas berkata “Laki-laki
pemimpin wanita” maksudnya sebagai amir yang harus ditaati oleh wanita[19]”.
2) Ar-Razi
Ar-Razi dalam Tafsir
Ar-Razi sependapat dengan pandangan Ibnu Katsir: dalam (Tafsir Al-Fakhrur
Razi, hlm. I/88):
“Keutamaan
laki-laki atas wanita timbul dari banyak sisi. Sebagian berupa sifat-sifat
faktual sedang sebagian yang lain berupa hukum syariah seperti al-imamah
as-kubro dan al-imamah as-sughro, jihad, adzan, dan lain-lain”.[20]
3) Wahbah
Zuhaili
Wahbah
Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu mengutip ijmak-nya ulama bahwa salah satu syarat menjadi Imam adalah
laki-laki (dzukuroh) dalam (Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, hlm. 8/302.):
“Adapun laki-laki (sebagai syarat jabatan
al-Imam) karena beban pekerjaan menuntut kemampuan besar yang umumnya tidak
dapat ditanggung wanita. Wanita juga tidak sanggup mengemban tanggung jawab
yang timbul atas jabatan ini dalam masa damai atau perang dan situasi
berbahaya. Nabi bersabda: ‘Tidak akan
berjaya suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada wanita’ Oleh
karena itu, ulama fiqih sepakat bahwa jabatan Imam harus laki-laki[21].
Tentu saja yang dimaksud al-Imam di sini adalah Al-Imam Al-Udzma atau Al-Khalifah
Al-Ammah yang mengepalai muslim dunia[22].
4) Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz (Ulama Wahabi)
Menyatakan dalam fatwanya bahwa
wanita dilarang menduduki jabatan tinggi apapun dalam pemerintahan:
“Kepemimpinan wanita untuk riasah
ammah lil muslimin itu tidak boleh. Quran, hadits dan Ijmak sudah menunjukkan
hal itu. Dalil dari Al-Quran adalah QS An-Nisa 4:34. Hukum dalam ayat tersebut
mencakup kekuasaan laki-laki dan kepemimpinannya dalam keluarga. Apalagi dalam
wilayah publik… Adapun dalil hadits adalah sabda Nabi “Suatu kaum tidak akan
berjaya apabila diperintah oleh perempuan.” Tidak diragukan lagi bahwa hadits
ini menunjukkan haramnya kepemimpinan perempuan pada otoritas umum atau
otoritas kawasan khusus. Karena semua itu memiliki sifat yang umum. Rasulullah
telah menegasikan kejayaan dalam suatu negara yang dipimpin perempuan”[23].
Fatwa
Bin Baz di atas tidak membedakan antara riasah
ammah yakni al-khilafah al-ammah dengan
al-wilayah al-khassah. Juga, semua
posisi jabatan tinggi seperti hakim, menteri, gubernur, dan semua posisi yang
membawahi laki-laki haram hukumnya diduduki oleh perempuan.
b. Ulama
yang membolehkan
Ibnu
Rushd memerinci perbedaan pendapat Ulama-Ulama dalam kitab Bidayatul Mujtahid:
“Ulama berbeda pendapat tentang
disyaratkannya laki-laki sebagai hakim. Jumhur mengatakan: ia menjadi syarat
sahnya putusan hukum. Abu Hanifah berkata: boleh wanita menjadi qadhi dalam
masalah harta. At-Tabari berkata: Wanita boleh menjadi hakim secara mutlak
dalam segala hal”.[24]
Ulama
yang membolehkan wanita menduduki jabatan qadhi atau hakim antara lain:
1) Abu
Hanifah
2) Ibnu
Hazm
3) Ibnu
Jarir at-Tabari.
Menyatakan
bahwa kepemimpinan wanita dalam posisi jabatan apapun tidak bertentangan dengan
syariah. Baik sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan
di bawahnya. Dalam fatwanya yang dikutip majalah Ad-Din wal Hayat, Tantawi
menegaskan:
“Wanita
yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah bertentangan dengan
syariah karena Al-Quran memuji wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah
ayat tentang Ratu Balqis dari Saba (QS An-Naml 27:23-44).
Dan bahwasanya apabila hal itu bertentangan dengan syariah, maka niscaya
Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini. Adapun tentang sabda
Nabi bahwa “Suatu kaum tidak akan berjaya
apabila diperintah oleh wanita” Muhammad Sayid berkata: bahwa hadits ini
khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya
secara umum.
Oleh
karena itu, maka wanita boleh menduduki jabatan sebagai kepala negara, hakim,
menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Hanya saja
perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini
khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban menjadi imam shalat yang
secara syariah tidak boleh bagi wanita.
5) Yusuf
Qardhawi
Sependapat
dengan Muhammad Sayid. Ia menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan
kepala negara (riasah daulah), mufti,
anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun dalam pemerintahan
ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam dalam soal ini jelas bahwa
wanita itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al ahliyah).[26]
Menurut Qardawi tidak ada satupun nash Quran dan hadits yang melarang wanita untuk menduduki jabatan
apapun dalam pemerintahan. Namun, ia mengingatkan bahwa wanita yang bekerja di
luar rumah harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariah seperti a)
tidak boleh ada khalwat (berduaan dalam ruangan tertutup) dengan lawan jenis
bukan mahram, 2) tidak boleh
melupakan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya, dan 3)
harus tetap menjaga perilaku Islami dalam berpakaian, berkata, berperilaku, dan
lain-lain.[27]
6) Ali
Jumah Muhammad Abdul Wahab (Mufti Mesir)
Ia
termasuk di antara ulama berpengaruh yang membolehkan wanita menjadi kepala
negara dan jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri, anggota DPR, dan
lain-lain. Namun, ia sepakat dengan Yusuf Qardhawi bahwa kedudukan Al-Imamah
Al-Udzma yang membawahi seluruh umat Islam dunia harus dipegang oleh laki-laki
karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat.[28]
Ali
Jumah menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam berbagai posisi sudah sering
terjadi dalam sejarah Islam. Tak kurang dari 90 perempuan yang pernah menjabat
sebagai hakim dan kepala daerah terutama di era Khilafah Utsmaniyah. Bagi Ali Jumah,
keputusan wanita untuk menempati jabatan publik adalah keputusan pribadi antara
dirinya dan suaminya. Ia megutarakan syarat bagi perempuan ketika ingin bekerja
di luar rumah.
Pertama,
pekerjaan itu tidak dilarang syariah. Wanita tidak boleh melakukan pekerjaan
yang dilarang syariah sebagaimana hal itu tidak boleh bagi laki-laki. Akan
tetapi ada juga jenis pekerjaan yang boleh bagi laki-laki tapi tidak boleh bagi
perempuan. Misalnya, wanita tidak boleh menjadi penari, atau sekretaris pribadi
bagi laki-laki yang berada di dalam kamar tertutup. Karena wanita yang khalwat (berduaan
dalam ruangan tertutup) dengan lelaki lain tanpa ditemani suami atau mahram
adalah haram secara pasti menurut ijmak ulama.
Kedua,
pekerjaan yang dilakukan hendaknya tidak meniadakan tugas wanita yang utama
yaitu sebagai istri dengan melaksanakan hak-hak rumah tangga dan sebagai ibu
dalam memenuhi hak-hak anak. Sekiranya pekerjaan tersebut akan mengganggu
tugas-tugas utamanya, maka itu tidak bisa diterima.
Ketiga,
berpegang teguh pada etika Islam. Seperti tata cara keluar rumah, berpakaian,
berjalan, berbicara, dan menjaga gerak-geriknya. Oleh karena itu, wanita tidak
boleh keluar tanpa mengenakan busana muslim, atau memakai parfum supaya wanginya
tercium laki-laki. Dan tidak boleh berjalan dengan gaya jalan seperti yang
digambarkan Allah dalam al-Qura’n[29].
2. Kepemimpin
Perempuan Kontemporer
Di era kontemporer saat
ini muncul pemimpin-pemimpin perempuan sebagai pemimpin alternatif[30],
di mana kebebasan berpolitiknya sama dengan kebebasan kaum laki-laki. Kedudukan
mereka juga bervariasi, mulai dari Presiden atau Perdana Menteri, Gubernur,
Bupati, Walikota, Camat, dan lain-lain. Di
negara-negara yang demokrasi maupun negara yang berkembang misalnya memberikan
kebebasan berpolitik kepada kaum Hawa separoh dari kaum Adam. Pemimpin tidak
lagi dipandang dari fisik “laki-laki” namun lebih kepada kemampuan,
Intelektual, keberpihakan terhadap rakyat yang ia pimpin.
Di Indonesia sendiri,
kebebasan berpolitik dapat dilihat dari kuota jumlah kursi dan pencalonan serta
pengkaderan dari partai politik yaitu 30%. Jadi jika jumlahnya 10 adalah
laki-laki maka yang 3 adalah perempuan. Hal ini didapatkan ketika uji materi
undang-undang no 8 tahun 2012 tentang pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD Kamis
25 April 2013 yang lalu. Diskriminasi terhadap perempuan menjadi tema besar
dalam perdebatan ini, adanya pemenuhan hak asasi perempuan serta
keterwakilannya di parlemen menjadi perjuangan baru kaum hawa. walhasil, kini dalam pemilihan
legislatif 2014, yang menganut sistem proporsional terbuka membuat laki-laki
dan perempuan bersaing secara ketat untuk mendapatkan kursi parleman.
Jumlah keterwakilan
perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat kadang bertambah kadang berkurang setiap
tahunnya, di tahun lalu berjumlah 101 orang atau 18,0 % dari seluruh anggota DPR yang mencapai 560
orang. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan jumlah pada tahun 2004
yakni 11,5 %. Terjadi penurunan angka yang dulu Tahun 2009, yakni 18,0 %
menjadi 17, 67 % jauh melenceng dari target 37,0 %.
Suara perempuan di
parlemen belumlah maksimal, masih berlakunya budaya patriaki yang membatasi
gerak perempuan dalam politik masih menjadi ganjalan bagi politisi perempuan. Politisi
Partai Demokrasi Indonesia (PDIP), Eva Kusuma Sundari mengatakan:
“Ini
permasalahan umum baik laki-laki maupun perempuan karena visi belum terbentuk
ketika dia mau nyalon karena dia populer ataupun kaya, jadi bukan karena
kapasitas, kapabilitas atau agenda setting yang mau dipakai ketika dia nanti
bertarung di parlemen. Yang kedua partai politik juga tidak menyiapkan
perempuan ketika sistem mekanisme rekrutmen-pun tidak berdasarkan pertimbangan
representasi”[31]
Saat ini perempuan masih sulit
menduduki posisi strategis akibat kuatnya dominasi laki-laki. Eva melanjutkan:
“Kita musti faham bahwa bias Deal And Dominated... Will Dominated Work...
terutama di Parlemen, atau Tentara misalnya. Dia mau jadi panglima kodam mana?
Berat bagi perempuan. Ada problem struktural tapi juga ada problem yang
sifatnya kita bisa negosiasi”[32]
Pengamat Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan (LIPI), Siti Zuhro mengatakan:
“Kalau
kita berbicara perempuan dan politik di indonesia itu juga harus menyadari
bahwa kita secara kesetaraan itu belum, ada nilai-nilai budaya yang memang
tidak memberikan peluang yang sangat besar kepada perempuan, lalu kalaupun
perempuan itu katakan tertarik pada bidang yang ternyata disukai para kaum
prianya maka perempuan harus memiliki semacam bekal yang luarbiasa”[33]
Hal
senada juga diungkapkan oleh kordinator aliasi masyarakat sipil untuk perempuan
politik (ANSIPOL) Yuda Irlan:
“Laki-laki kualitasnya
seperti apa?, bagus!. Perempuan juga ada yang bagus!. Laki-lakinya tidak
berkualitas, perempuan juga ada. Laki-laki, perempuan sama ada yang berkualitas
dan ada yang tidak berkualitas. Hanya karena perempuan itu minoritas, dan
adanya perempuan di dewan itu sebagai sesuatu yang tidak terlalu dikehendaki,
maka selalu jadi sorotan”.[34]
Hak
politik kaum perempuan di Indonesia sudah didapat, namun mengalami pasang surut
secara kuntitatif dari tahun 2009 ke 2014 ini. kompetisi terbuka baik melawan
partai lain maupun di internal partai sendiri semakin membuat kaum perempuan
terjepit. Kesadaran kolektif rakyat yang masih minim untuk memilih perempuan
dalam setiap pemilu akibat dari kasus-kasus pemilu seperti money politik, suara
bergeser dan lain-lain membuat perempuan harus berfikir ekstra untuk
memperbaiki cara dan metode guna mendapat suara dari konstituenya.
C.
Penutup
Kepemimpinan
perempuan masih menjadi perdebatan-perdebatan para ulama sampai sekarang. Akan
tetapi dalam perjalanannya, di mana demokrasi memenagkan dirinya dari bentuk
atau sistem negara-negara yang baru terbebas dari kolonialisme menujukan dan
memberikan kebebasan berpolitik kepada seluruh rakyat baik itu bangsawan, orang
biasa, perempuan, laki-laki. Kepemimpinan
perempuan bukan tanpa syarat, ada kewajiban-kewajiban yang musti diselesaikan
terlebih dahulu sebagai seorang ibu rumah tangga. Apabila urusan tersebut sudah
selesai sebagai tahap awal, kemudian tahap keduanya mendapat ijin dari suami,
barulah perempuan itu berhak mengurus urusan yang lain.
Al-Qur’an
sampai saat ini butuh penafsiran-penafsiran umat Islam untuk menjawab
problematika yang terjadi di zaman yang berbeda dengan zaman Asbabunnuzurnya, termasuk urusan-urusan
kontemporer saat ini seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Selanjutnya Al-Qur’an
yang dianalisis secara mendalam oleh para ulama terdahulu guna menjawab
problematika yang terjadi di atas, proses penganalisa ini perlu dilakukan
karena gaung Emansipasi, Gender dan
hak asasi manusia yang kebablasan terhadap umat Islam. Gaung-gaung tersebut
jika dicermati sudah terpakai dan tertempel sejak hadirnya Islam yang dibawa
Nabi Muhammad Saw. akan tetapi kaum muslim saat ini terlebih yang tangah
bersentuhan dengan modernisasi.
Kepemimpinan perempuan
di Indonesia sudah mendapatkan legitimasi yang sama dengan kepemimpinan
laki-laki, di mana terdapat laki-laki yang berkualitas dalam memimpin begitu
juga halnya dengan perempuan, terdapat laki-laki yang korupsi begitu juga
halnya dengan pemimpin perempuan yang korupsi. Laki-laki dan perempuan kini
dipandang sama walaupun masih cenderung terdapat nilai budaya patriarki dalam
aplikasinya.
Hak politik perempuan
di Indonesia dalam perjalanannya masih mencari bentuk-bentuk yang ideal,
minimnya keterwakilan dan partisipasi perempuan di parlemen memberikan gambaran
yang nyata bahwa target kuota 30 % saja sulit tercapai. Kaum perempuan harus
mulai berbenah untuk mengajak dan membangun kesadaran perempuan-perempuan yang
lain untuk ikut berjuang baik dalam politik maupun bidang-bidang yang lain.
[1] Salim Azam, Beberapa
Pandangan Tentang Pemerintahan Islam ( Bandung: Mizan, 1979), h. 7.
[2] “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar” (QS: An Nisa: 34,
34)..
[3] Shaih Al-Bukhari dari Ibn Umar
r.a. no. 893, 2409, 2558, 2751, 5188, 5200. Dan Shahih Muslim dari Ibn Umar no.
4724. HR. Tirmizi: bab Al-Jihad, HR. Abu Daud; bab Al-Imrat dan HR. Ahmad; bab Al-Iman.
Lihat buku M. Syafii Antonio, tentang Muhammad Saw. The Super Leader Super Manager, hal. 16.
[4] Dalam kehidupan bernegara kita
melihat dalam pemilihan dewan perwakilan, di mana terjadi Black Campane, money politik, penggelembungan suara dan lain
sebagainya, itu tak lain dilakukan hanya untuk mendapatkan kursi semata.
[5] Berdakwah bukan hanya
menggunakan lisan, diantara bentuk-bentuk dakwa yaitu Bil-Hal dan Bil-Lisan seperti pengajian-pengajian, tausyiah, khotbah, tapi juga
materi, tenaga, sumbangan-sumbangan
untuk kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
[6]
Riswanda imawan, membedah politik orde baru (yogyakarta: pustaka pelajar,
1997), h. 278.
[7]
Cakap memimpin menunjuk kepada
kualitas individual. Indikasinya antara lain sebagai fasilitator, agregator dan
motivator. Fasilitator sendiri merujuk kepada melayani masyarakat, menjadi
tempat mengadu masyarakat, dan menjadi juru damai konflik. Agregator adalah
merasakan dan menyerap aspirasi baru yang berkembang dalam masyarakat.
Sedangkan motivator adalah dapat menggerakkan, memancing orang agar kreatif dan
mampu memaksimalkan kemampuan mereka. Popularitas
merupakan pelengkap yang harus dipenuhi bila seorang ingin mejadi pemimpin
politik. (imawan, 1997).
[8] Libby Hughes, Benazir Bhutto:
From Prison to Frime Minister, (Universe:2000).
[9] Allah
berfirman: “Lalu keduanya digelincirkan oleh
syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman:
"Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu
ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
(Al-Baqarah: 39)
[10] QS: An Nissa: 58
[11] Artinya:“Tidak akan beruntung suatu kaum apabila dipimpin oleh perempuan”(HR:Bukhari)
[12] Siti Musdah Mulia, Menuju Kemandirian Politik Perempuan (Yogyakarta:
Kibar Press, 2008), h.148.
[13] Allah berfirman “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita),…”(QS An Nisa 4:34)
[14] Allah berfirman: “dan hendaklah kamu (perempuan) tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu”( QS Al Ahzab 33:33).
[15] Allah berfirman: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan)
kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara
yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”(QS Al-Ahzab
33:53).
[16] Allah berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai”.(QS Al-Baqarah 4:282).
[17] Allah berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar”.(
QS At Taubah 9:71).
[18]
kisah tentang dan pujian Allah terhadap Ratu Balqis.
[22] Namun, menurut
Wahab Zuhaili, dalam masalah jabatan qadhi atau hakim, terdapat perbedaan ulama
fiqih apakah wajib laki-laki atau perempuan juga boleh menempati posisi ini:
(Imam madzhab sepakat bahwa syarat bagi qadhi adalah berakal sehat, baligh,
merdeka, muslim, tidak tuli, tidak buta, tidak bisu. Mereka berbeda pendapat
dalam syarat adil dan laki-laki).
[25] Menjabat
sebagai Mufti Besar Mesir pada tahun 1986-1996, menjadi Imam Masjid Al-Azhar
dan Syeikh Al-Azhar pada 1996.
[29] QS An-Nur 24:31 “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” QS Al-Ahzab 33:32 “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah
perkataan yang baik.”
[30] Kehadiran kaum wanita di arena
kekuasaan menunjukan kerusakan dalam sistem itu: unsur-unsur taraf rendah, yang
biasa tersisih, memangku tanggung jawab. Lihat di Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan
(Bandung: Mizan, 1994), h. 23.
[31] Tempo TV, 2013.
[32] Ibid....
[33] Ibid...
[34] Ibid...
Comments
Looking for the best ways to get from Vivo 충주 출장샵 Hotel Casino 제천 출장마사지 Hotel Casino 의왕 출장샵 to Mandalay Bay? At 진주 출장안마 Mapyro, you can do so 성남 출장안마 with ease, with our