BOOK REVIEW

JUDUL BUKU        : PEREMPUAN DAN KETIDAK ADILAN SOSIAL
PENULIS              : MAHATMA GANDHI
REVIEWNER                  : ISHAK HARIYANTO
Sejak zaman dulu, pendidikan diyakini untuk membuka mata hati dan pikiran demi perkembangan diri sendiri dan lingkungan sekitar. Namun tidak demikian dalam persoalan gender. Pendidikan yang dipandang buta terhadap kaum  gender yang mengakibatkan ilmu pengetahuan tidak kritis terhadap persoalan-persoalan perempuan atau bias gender. Pada umumnya rasionalisasi ilmu pengetahuan menempatkan aspek otak kiri sebagai wilayah laki-laki dan lekat dengan aspek rasionalisme.
Sebaliknya kaum perempuan tidak dipandang rasional dan selalu dianggap seolah-olah perempuan adalah manusia kedua setelah laki-laki dan tidak pernah dipandang rasional, hanya mahluk lemah, selalu dimarjinalkan dan bahkan secara tidak sadar kadang-kadang perempuan jadi korban eksperimen kebutaan pendidikan.
Wacana semacam ini terbukti mendiskualifikasi peran perempuan. Misalnya alat kontrasepsi untuk mengontrol reproduksi manusia merupakan kebenaran ilmiah patriarki yang menjadi proses pengalaman perempuan akan seksualitasnya. Berbagai alat kontrasepsi yang ditanamkan di tubuh perempuan tanpa memikirkan akibat dan reaksi yang bervariasi pada setiap perempuan, karena alat-alat itu tidak pernah dikaji ulang berdasarkan pengalaman perempuan.
Oleh karena itu diperlukan metode belajar yang mampu menganalisis pola-pola kekuasaan yang memengaruhi keilmiahan suatu ilmu. Sebab tanpa disadari bahan ajar tersebut dapat menguatkan internalisasi ideologi gender yang bias. Pengalaman empiris perempuan dapat dikerjakan dengan mendekonstruksi ide atau gagasan yang bias gender untuk kemudian mendekonstruksi ide atau gagasan baru dalam kerangka relasi seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Dalam buku perempuan dan ketiakadilan sosial ini, secara kritis ditelaah dibahas oleh Mahatma Gandhi bagaimana diskriminasi dan dikotomi formal terhadap perempuan dalam kebijakan sosial yang ada di India, bagaimana posisi kaum perempuan, kedudukan, perannya sebagai mahluk sosial.
Peran, kedudukan, dan posisi kaum perempuan disini selalu di diskriminasi, salah satu contoh kedudukan perempuan seolah-olah dipandang dalam dunia intelektual dan pendidikan bagaikan barang  yang dititipkan oleh sang pencipta melalui para ibu-ibu yang melahirkan  kaum perempuan, sebagai contoh, ketika seorang perempuan jarang mendapatkan posisi pendidikan    sedangkan para kaum maskulin selalu mendapatkan pendidikan yang baik, karna alasan yang sering muncul yakni; “kaum perempuan sekolah atau tidak sekolah sudah pasti akan diambil sama seorang pemuda nantinya”, Jadi seperti yang dikatakan di atas, seolah-olah perempuan itu di analogikan sebagai barang titipan yang akan siap diambil kapan saja oleh pemiliknya, jadi mindset yang seperti ini yang ingin dirubah oleh maharmagandhi, karena seolah-olah pemikiran yang seperti ini adalah pemikiran dalam praktik memarjinalkan kaum perempuan dalam konteks dunia sosial, sehingga sangat rawan sekali terjadinya kejahatan-kejahatan dalam  perkawinan usia muda, masih mempertahankan budaya perkawinan masa anak-anak, derita istri yang masih muda dan banyaknya janda-janda yang masih kecil yang masih belum siap menanggung beban sebagai makhluk sosial.
Dalam membahas perempuan dan ketidak adilan sosial ini Mahatma Gandhi ingin memperkenalkan patologi sosial bagi para pemerhati gender, dan bagaimana langkah-langkah perjuangan Mahatma Gandhi dalam melihat diskriminasi kaum perempuan secara umum dan diskriminasi kaum perempuan di india secara khusus mengenai peran, posisi dan kedudukannya yang harus kita pikirkan sebagai seorang intelektual yang ingin mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan  dan juga harus dapat menemukan pola pemukiman dengan keunikan budaya, sosial dan ekonomi serta kebutuhan lingkungan berdasarkan kebutuhan gender.
Pola-pola perilaku laki-laki, perempuan dan anak-anak memengaruhi desain arsitektur sosial. Juga dalam kepemimpinan yang selama ini identik dengan laki-laki dapat ditegaskan dalam mata kuliah perilaku organisasi bahwa kepemimpinan bukan milik jenis kelamin tertentu dan bagaimana konsekuensi yang dihadapi.
Pemahaman dan kesadaran  bagi intelektual disini masih dikatakan kurang dilihat dari kacamata sosial dan budaya, karena masih banyaknya para pelajar yang tidak tahu dan masih apatis terhadap  perjuangan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak adanya pilihan dan keadilan sebagai makhluk sosial  sebenarnya.
Maka dari itu dibutuhkan pemahaman yang terus menerus ditelurkan mengenai gender dan ketidak adilan kaum perempuan dalam dunia sosial dan pendidikan  yang seimbang  antara relasi laki-laki dengan perempuan yang dibangun dalam bingkai pendidikan, memberikan sumbangan nyata masyarakat yang peka gender.
Sumbangan buku ini amatlah menarik karena ternyata dalam semua ilmu pengetahuan, terdapat materi yang dapat diselipkan untuk mendidik kaum muda untuk lebih peka gender dan keadilan sosial.
Pengetahuan ini menjadi bekal yang menarik dalam menciptakan masyarakat sadar gender di masa mendatang. Buku ini mencoba mendekonstruksi gagasan atau ide sadar gender yang ditanamkan dosen kepada mahasiswa. Tentu saja saja penyebarluasan ide ini kian membantu membangun wacana feminis dalam konteks yang lebih luas.


Comments