Siti Raudhatul Jannah M.Med.Kom.
BERKACA PADA SEKITAR
Memang belum ada penelitian mendalam
tentang seberapa mengenaskan minat dan kemampuan umat Islam dalam dunia tulis
menulis. Namun menurut hasil kajian Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), pembaca
koran di tanah air membuat miris, dari sekitar 220 juta penduduk, pembaca koran
hanya 7 ribu orang per- hari (Jawa Pos,6/9-2006). Angka ini memberikan gambaran
gradual, jika pembaca yang beragama Islam 70%-nya, maka angkanya hanya 4.900
saja umat Islam yang membaca berita tiap hari. Angka muslim yang berminat
menulis dipastikan jauh menyusut karena peminat tulis tak sebanyak peminat baca
(Suharsono, 15).
Secara kasat mata, dari pantauan selintas
di beberapa kios media massa hanya segelintir penerbitan yang beraroma Islami.
Itupun tak banyak yang mampu ditayangkan dan ‘berjuang’ mendapatkan posisi di
rak-rak penjualan majalah, koran, tabloid, dan penerbitan populer lainnya.
Kalaupun dihitung dengan jari, dari
sekitar 40 macam penerbitan, kurang dari lima di antaranya berupa media bertema
Islami. Selebihnya adalah media umum dan bahkan porno.
Celakanya, jumlah yang minimal itu juga
tidak disertai dengan upaya penjualan yang memadai sehingga oplah-nya kalah
jauh di bawah media berbau esek-esek atau semi porno.
Merujuk pada kenyataan ini, sudah
saatnyalah penulis atau calon penulis Islam bangkit dan berdakwah lewat media
ini. Apalagi dengan keterbatasan coverage( jangkauan) dakwah bil-lisan
(khutbah, pidato dan dakwah oral lainnya), maka kelebihan media tulis yang
mudah menjangkau lintas kawasan, lintas agama dan lintas SARA lainnya, dapat
dimaksimalkan penggunaannya (Sutirman, 28). Caranya, tak lain dan tak bukan, umat Islam harus rajin
menulis, mari kita mulai dari sekarang.
MANFAAT TULISAN BAGI KEMAJUAN ISLAM
Seharusnya tidak ada keraguan dan
keengganan menulis di kalangan kaum muslimin, umat dengan jumlah terbesar kedua
setelah Nasrani di muka bumi ini. Namun nyatanya tak semudah menghapus mimpi
buruk dari ingatan, sampai saat ini, kemampuan menulis masih dipandang sebagai
‘tugas’ kaum elitis semisal dosen, guru, wartawan dan pengamat saja.
Padahal sejarah membuktikan, tokoh-tokoh
besar semacam Bung Karno, Bung Hatta, Al Ghazali, Ibn Rusyd, bahkan para imam
besar, lahir berkat kepintaran mereka menulis. Bahkan bangsa yang kini
menguasai dunia, yakni Amerika dan Eropa, menjelma setelah budaya menulis ini
banyak dilakukan penduduknya (Dja’far H Assegaff, 23).
Contoh paling riil adalah ketenaran
seorang Gunawan Muhammad yang menggema melebihi para gubernur-penguasa daerah
mana pun di Indonesia ini, terutama di kalangan akademisi, hanya karena
memiliki kemampuan menulis yang mengalir bak air terjun (Kompas, Desember
2004). Tulisannya lugas, tegas dan membumi.
Dasar hukum yang mewajibkan umat Islam
harus rajin menulis juga tidak main-main. Adalah Al-Alaq, ayat pertama yang diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad SAW, dengan tegas menyebutkan kewajiban menulis ini,
bahkan dengan kata yang berulang. Coba saja simak; Bacalah dengan Nama
Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan
perantaraan tulisan. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya (Alqur’an-surat Al Alaq 1-5).
Secara implisit dan eksplisit, ayat ini
telah menjelaskan bahwa tidak boleh ada jarak antara umat Islam dengan budaya
baca-tulis yang merupakan kunci ilmu pengetahuan. Suharsono dalam Melejitkan
IQ,EQ dan IS mengetengahkan bahasa yang sangat tepat bagi manusia yang
berkemampuan menulis dengan baik; Barang siapa pintar menulis, maka dia dapat
mengekspresikan ide, menganalisa dan bersikap terhadap sesuatu. Secara
dialektik, kegiatan menulis akan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan
orang yang melakukannya akan menjadi ilmuan (Suharsono, 55).
Sebagaimana kita pahami, penghargaan Islam
terhadap ilmu dan ulama ini sangat tinggi. Bahkan Alqur’an dan para rasul
diturunkan kepada umat manusia juga demi ilmu. Begitu juga di era modern ini,
nasib orang berilmu terus terangkat dan merekalah yang mengendalikan dunia.
Sayangnya, masyarakat Indonesia yang
umumnya Muslim ini justru tidak terbiasa mengekspresikan ide, pengalaman dan
keinginannya dengan cara menuliskannya. Padahal dengan membiasakan diri
mewujudkan ide ke dalam tulisan, berarti telah mengalirkan air pemikiran yang
menumpuk dan menggenang di sumber mata air manusia yang bernama pikiran. Jika
air pikiran kita dapat mengalir dengan deras, maka dengan sendirinya menjadi
jernih dan pancaran mata air pikiran seseorang semakin deras. Manakala tidak
rajin menulis (air) pikiran manusia akan menjadi keruh bahkan menyumbat mata
air itu sendiri.
Lebih daripada itu, menulis kini
dibutuhkan untuk memerangi kepentingan tertentu. Untuk kepentingan politik
misalnya, sebuah tulisan yang disebarkan melalui media sangat efektif berperan
sebagai saluran propaganda berbagai kekuatan politik. Misalnya dalam perang
Teluk tahun 1990. Masyarakat dunia seakan-akan ikut terlibat dalam peristiwa
itu hanya karena informasi yang diserapnya melalui tulisan wartawan yang dimuat
di media massa. Hampir setiap koran menempatkan berita itu pada halaman muka
dan tajuk rencananya. Akibat tulisan memihak para wartawan asing, di mana
kemudian berita yang sama dikutip media di Indonesia, Irak yang jelas-jelas
diinvasi justru dicerca dan Amerika yang jelas jadi penyaploknya diunggulkan
bak hero (Departemen Luar Negeri AS, 12).
Ironisnya, kenyataan puluhan tahun silam
itu belum mengetuk sebagian nurani Muslim di dunia untuk kemudian bangkit dan
menguasai media, yang telah dijadikan saluran tulisan para wartawan dari kubu
musuh Islam. Sebaliknya, pihak negara maju, sebagaimana diakui James Russel
Wiggin, pemimpin redaksi The Washington Post, menegaskan bahwa peradaban ini
tidak dapat muncul jika tidak ada fasilitas bagi penyebaran berita.
Pun peradaban Islam di Baghdad, Mesir
kuno, peradaban Arya di sepanjang aliran sungai Indus di India berkembang
karena didukung oleh penyebaran berita, khususnya tentang ilmu dan kebudayaan
yang dikembangkannya.
CARA MENULIS PALING EFEKTIF
Kemampuan intelegensi verbal linguistik
ditandai dengan kemampuan merekam dan mengekspresikan peristiwa, gejolak jiwa
serta pendapat secara tertulis. Upaya ke arah ini dapat dimulai dengan rajin
menulis diari atau buku harian. Mengapa diari? Jenis tulisan paling pribadi
inilah yang paling mudah dibuat dan bebas nilai. Tulisan ini bebas cercaan
orang lain karena hanya dibaca diri sendiri dan orang terdekat. Lain halnya bila tulisan yang sama hendak diterbitkan dan
dibaca umum. Tulisan yang ‘dimassakan’ hendaknya mengikuti aturan yang berlaku,
di antaranya mudah dimengerti oleh pembacanya.
Metode paling sederhana untuk membuat
tulisan yang layak baca adalah memenuhi rumusan 5 W 1 H (what, where, when,
who, why dan how). What artinya tulisan harus menjawab pertanyaan ada
apa kepada pembacanya, where menjawab tentang di mana kejadian
berlangsung, when tentang kapan peristiwa terjadi, who
tentang siapa pelaku dan sasaran peristiwa, why menjawab
pertanyaan mengapa peristiwa terjadi sedangkan how harus menjawab
pertanyaan bagaimana kejadian berlangsung(Asep Saiful Muhtadi, 182).
Setelah menjawab semua pertanyaan mendasar
ini, penulis harus merunutkan tulisan sesuai penonjolan pesan yang diinginkan.
Misalnya menulis tentang seorang tokoh, maka unsur who harus mendapat perhatian
lebih, baru dilanjutkan pada unsur lainnya.
Guna memudahkan penulis pemula, tulisan
hendaknya dimulai dari pembuatan judul terlebih dahulu, baru pada bagian
tulisan yang lain berupa tubuh berita dan kesimpulan. Upaya ini dilakukan agar
tulisan pemula tidak kehilangan fokus sejak dari awal hingga tulisan berakhir.
Jawaban-jawaban terhadap keenam pertanyaan
tersebut kemudian ditulis dalam susunan seperti Piramida Terbalik. Fakta-fakta
atau pokok pikiran yang dianggap penting ditempatkan pada paragraf pertama,
biasa disebut lead, sedangkan fokus lainnya ditempatkan pada paragraf
berikutnya sesuai dengan urutan tingkat kepentingannya. Urutan kepentingan ini
dimulai dari yang paling penting, kurang penting sampai yang tidak penting
(Redi Panuju, 56).
Sesuai namanya, bentuk penulisan Piramida
Terbalik adalah sebagai berikut.
Paragraf Pertama; Berisi rangkuman yang memuat pokok-pokok pikiran atau
inti dari keseluruhan tulisan, biasanya menjawab semua pertanyaan 5 W 1 H.
Paragraf Kedua; Deskripsi agak lengkap tentang pertanyaan-pertanyaan sebelumnya.
Paragraf Ketiga; Uraian data pendukung.
Paragraf Keempat; Uraian tentang data yang masih relevan disajikan tapi
bukan data pokok.
Gaya Piramida terbalik ini biasanya
disajikan bila bahan dasar tulisan berupa peristiwa, jenis pelaporan yang
memang ketat memegang aturan ini. Akan halnya acuan umum untuk memulai menulis
adalah:
1. Menemukan
ide
2.
Mencari bahan
referensi untuk mengembangkan ide
3.
Membuat outline atau garis
besar untuk mengorganisasikan paduan antara ide dan referensi sehingga
sistematis.
4.
Menulis bebas, berupa
penulisan naskah awal sebagai kerangka
tulisan.
5.
Menulis ulang naskah
atau revisi tulisan
6.
Menyunting naskah,
yakni memperbaiki naskah secara redaksional dan substansial sehingga tidak ada
kata yang tidak factual apalagi sulit dipahami (Redi Panuju, 91).
Dengan latihan menulis secara periodik
dalam jangka berdekatan, misalnya setiap dua hari sekali, akan tercipta
keteraturan aliran ucapan yang lancar, struktur logika bahasa teratur, dan
kesenangan untuk membaca, menulis, berdiskusi, menyimak kata secara seksama dan
memiliki potensi lebih untuk menguasai bahasa asing. Semakin rajin menulis,
semakin cepat pula seseorang menyusun kalimat, cermat memilih diksi (pilihan
kata) yang efektif (Suharsono, 106).
TULISAN SEBAGAI SARANA DAKWAH
Di era teknologi tinggi ini, informasi
diyakini telah menjadi kebutuhan pokok umat manusia. Karenanya, hanya mereka
yang mampu menguasai dan mengolah informasi sajalah yang akan berperan di garda
depan dalam kerangka mondial. Dalam kaitan itu, Jurnalistik Dakwah harus
dikembangkan sehingga mampu menguasai dan mengolah informasi, khususnya yang
melalui sarana media pers, sehingga membawa dampak menggembirakan bagi
perkembangan syiar Islam (Sutirman, 18)
Dakwah lewat jurnalistik sendiri lebih
pada kegiatan menyampaikan pesan berupa dakwah kepada khalayak ramai melalui
saluran media, baik cetak maupun elektronik. Secara sederhana, jurnalistik
dakwah bisa diartikan sebagai kegiatan dakwah melalui karya tulisan. Karya
tulis tersebut dimuat di media pers (media massa), baik berbentuk berita,
artikel, artikel laporan, tajuk dan karya jurnalistik lainnya.
Karena dimaksudkan sebagai pesan dakwah,
maka karya jurnalistik tersebut otomatis berisi ajakan mengenai pentingnya
mengerjakan kebaikan dan meninggalkan kenistaan dengan bersumber dari aqidah
Islam, Tauhid dan Keimanan (Sutirman, 21).
Selama ini tidak seorang pun yang
menyangkal bahwa masjid merupakan pusat dakwah yang efektif. Akan tetapi,
dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang pesat dari tahun ke tahun, kini
dakwah tak cukup hanya dipusatkan di masjid saja tanpa mencari alternatif lain
di luar masjid dengan mempergunakan sarana dan prasarana yang ada. Kini sudah
saatnya para pemikir, pakar, muballigh, ulama dan pemuka Islam lainnya
memanfaatkan peluang maupun pengaruh yang dimiliki pers guna meningkatkan
dakwah demi syiar Islam.
Cara berdakwah di mana pun pada dasarnya
memiliki prinsip yang sama. Demikian pula dengan materi atau ideologi dakwah,
semuanya serupa, bersumber dari Al Qur’an dan Hadist. Hanya saja, berdakwah
lewat media massa atau pers memiliki teori dan cara tersendiri yang sangat
berkaitan dengan metode jurnalistik yang terbingkai dalam kaidah ilmu
komunikasi.
Tanpa bermaksud mengecilkan peran sarana
dakwah lainnya, berdakwah di koran atau media pers memang tidak semudah
berdakwah oral. Biasanya, muballigh berada di forum yang tidak dialogis
sehingga kepuasan pendengar tidak terukur dengan tepat. Situasi ini jelas
berbeda dengan berdakwah melalui pers, di mana dakwah harus efektif, relevan
dan mampu mengiringi perubahan zaman. Berdakwah lewat media pers tidak hanya
bertumpu pada ilmu komunikasi semata, namun juga ditopang keampuhan ilmu
lainnya, seperti psikologi, sosiologi, ilmu politik, antropologi, sejarah,
bahasa, kebudayaan dan ilmu agama (DR Sayyid M Nuh, 38).
Penulis atau pendakwah dituntut memiliki
kemampuan merangsang dan membawa pembacanya sedemikian rupa pada pokok sasaran
hingga terbawa dan terlibat dalam persoalan yang disajikan. Untuk itu,
penyajian kata haruslah selektif dan tidak bertele-tele. Kalimat yang melantur
atau berpanjang-panjang hanya akan membuat pembaca meninggalkan apa yang
seharusnya dibaca tanpa perlu merasa sungkan sebagaimana meninggalkan forum
ceramah. Untuk itu, diperlukan teknik penulisan dakwah yang populer tanpa
melupakan hakekat dan ciri-ciri dakwah.
Surat dakwah Nabi Muhammad SAW kepada raja
Al Mundzir di zaman kebangkitan Islam, bisa menjadi patokan betapa efektifnya
sarana ini bagi kemajuan Islam. Saat itu, dibantu seorang sahabat, Rasulullah
SAW menulis surat kepada Raja Bahrain yang bernama Al Mundzir bin Sawa. Raja Al
Mundzir menerima dengan ramah dan penuh hormat utusan Rasulullah dan membaca surat
tersebut.
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Dari Muhammad
Rasulullah, ditujukan kepada Al Mundzir bin Sawa. Salam Sejahtera untukmu.
Sesungguhnya aku memuji untukmu kepada Allah yang tidak ada Tuhan melainkan
Dia, Amma Ba’du. Sesungguhnya barangsiapa yang telah bershalat dengan shalat
kami, menghadap kiblat kami, dan memakan hewan sembelihan kami maka itulah
orang Islam, baginya mendapatkan jaminan RasulNya. Barangsiapa di antara orang
Majusi yang menyukai demikian maka ia aman dan barangsiapa yang membangkang
maka wajib baginya membayar jizyah.” Setelah membaca tulisan Rasulullah SAW, wajah Raja Al Mundzir berseri-seri.
Ia pun terlibat pembicaraan yang serius dengan utusan Nabi mengenai kebenaran
Islam yang diturunkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW. Kemudian Raja
berkata kepada Al Ala bin Hadhrami, utusan Nabi tersebut. “Tidak seorang pun
yang bisa menghalangi keinginanku untuk menerima serta meyakini suatu agama
yang membawa manusia ke kebahagiaan di dunia dan akherat.”
Lalu Raja menyatakan kesediaannya untuk
memeluk Islam, bahkan dia menulis surat balasan untuk Rasulullah dengan tulisan
yang indah disertai bahasa yang padat dan mengena.”Amma ba’du. Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku telah membaca suratmu untuk penduduk Bahrain. Lalu
di antara mereka ada yang mencintai Islam, terpesona dan memeluknya, namun
sebagian ada pula yang membencinya. Sedangkan di negeriku ada penganut Majusi
dan Yahudi,maka berilah penjelasan perintahmu tentang hal itu kepadaku.”
Surat menyurat ini menjadi bukti otentik
bahwa berdakwah melalui tulisan sudah dipandang Rasulullah sebagai bentuk
dakwah yang efektif. Sebagaimana terbukti surat beliau kepada Raja Bahrain yang
telah mendapatkan sambutan sangat menggembirakan.
MENULIS PEKERJAAN MENJANJIKAN
Menjadikan dunia tulis menulis sebagai
satu-satunya pekerjaan sepanjang hayat bukan barang tabu di masa kini. Bagi
ilmuan, dunia tulis menulis mampu menjadi media penyampai kepintarannya kepada
publik, bagi seorang pekerja, bidang ini dapat menyediakan pendapatan yang
layak dengan menjadi wartawan. Bagi pebisnis, penerbitan bisa dijadikan ladang
usaha yang menjanjikan dengan membuat majalah, tabloid atau koran (John Tebbel,
1).
Di beberapa kota besar, wartawan atau
penulis mendapatkan gaji yang cukup besar dibandingkan rata-rata UMR (upah
minimum regional), minimal lima kali lipat gaji pegawai swasta setempat.
Apalagi ketika bisnis informasi kian marak
dan menjadi tren di millennium ke III ini. Media massa makin terpacu dalam
menggapai pembacanya. Di sinilah peluang sangat terbuka, baik sebagai penulis,
pemilik media atau investor. Di sisi lain, masyarakat menyambut banjir
informasi dengan antusias. Kebebasan menerima dan menyampaikan informasi
membuka lebar cakrawala berpikir masyarakat. Bahkan informasi kini termasuk
sebagai kebutuhan pokok, selain sembako sebagai kebutuhan fisik.
Salah satu orang terkaya di dunia, Rupert
Murdoch, berkebangsaan Australia, kini malah bisa menguasai dunia dengan bisnis
informasinya. Rupanya Murdoch berkaca pada pedagang Eropa zaman dulu yang
menggunakan media massa sebagai alat penyampaian informasi harga-harga
dagangannya. Juga belajar dari Julius Caesar yang memanfaatkan media sebagai
wadah propaganda senatornya. Tak hanya Murdoch, pemimpin di Indonesia pun
menjadikan media sebagai alat politik pemerintahan. Masyarakat pengusaha,
penguasa pun menjadikan media sebagai
ajang bisnis dengan menjual informasi, baik berita maupun iklan (Masmiar
Mangiang, 81)
Di antara media yang ada, cetak,
elektroniuk ataupun interaktif, pada dasarnya membutuhkan wartawan atau penulis
yang sudah matang. Namun ada juga yang
menyediakan wadah magang-belajar bekerja. Di Indonesia sendiri, ada 974
penerbitan pemegang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), ada 1.967
penerbitan pemegang Surat Tanda Terbit
(STT), kesemuanya dengan oplah mencapai 14 juta eksemplar. Media elektronik
terdapat 10 televisi pemerintah dan 12 televisi swasta nasional serta daerah.
Ada 49 radio pemerintah dan 752 radio swasta sehingga media kini sudah
merupakan industri yang tentu saja, menyediakan lapangan pekerjaan dan ladang
bisnis (ML Stein,44).
Hanya saja, jika ingin kaya janganlah
menjadi pekerja pers semata, kecuali mempunyai perusahaan pers sendiri atau
menjadi penulis terkemuka. Uang memang penting, tetapi bukan merupakan
pendorong utama bagi mereka yang ingin terjun menjadi wartawan. Terjun ke
bidang ini membutuhkan minat yang tinggi karena ada kalanya pekerjaan ini
membosankan karena tugas yang dijalankan hamper selalu sama setiap harinya.
Kerja para wartawan biasanya sepanjang waktu, tanpa mengenal hari minggu dan
seringkali dalam keadaan berbahaya.
Namun pekerjaan ini selalu menarik dan
menakjubkan, seringkali wartawan merupakan orang yang pertama dalam mendapatkan
berita, mengenali para pemimpin Negara dan orang ternama lainnya. Seorang
wartawan dapat berbincang dengan presiden negaranya, pemimpin Negara asing,
pemimpin sebuah bank ternama, seorang penyanyi terkenal, sekaligus hanya dalam
sehari (Asep Saiful, 65).
Keesokan harinya, wartawan selalu ditunggu
pekerjaan lainnya, kemudian kembali menulis suatu kisah yang tidak mungkin
ditemukan dalam pekerjaan jenis lainnya. Seperti pekerjaan lain, bidang
jurnalistik tidaklah hal yang mudah. Berita yang diperoleh dan ditulis oleh
seorang wartawan yang diusahakan dalam beberapa jam akan dibaca oleh
beribu-ribu orang dan mungkin berjuta orang. Wartawan umumnya diterima dengan
baik oleh orang yang mempunyai jabatan penting dan berkuasa, di mana tidak
semua orang akan mendapatkan pelayanan yang demikian.
Menjadi seorang wartawan adalah suatu
pekerjaan yang membanggakan. Sebagian wartawan telah menjalankan tugasnya
dengan sangat berani, misalnya wartawan perang yang meliput di tengah desingan
peluru dan introgasi tentara yang tengah berseteru. Ada kalanya wartawan juga diculik,
diintimidasi dan diimingi harta, kedudukan dan lainnya karena pelakunya takut
sang wartawan menulis apa adanya (John Tebbel; 9).
Para wartawan juga bertugas membantu orang yang tengah bermasalah. Orang
miskin yang tengah sakit, menggalang dana untuk korban bencana, mempertemukan
keluarga yang terpisah dalam suatu musibah dan sebagainya.
Lalu apa saja persiapan menjadi penulis
professional, semacam wartawan? Pertama tentu harus belajar mengetik. Kedua,
pintar menulis, kalaupun belum bisa, kursus di sekolah-sekolah khusus juga
bisa. Di sekolah, calon wartawan harus belajar membaca dan menulis sesuai
dengan bahasa sendiri. Mata pelajaran juga harus mencakup sejarah, system
pemerintahan, matematika, sains. Wartawan harus mampu mengetahui segala sesuatu
walaupun sedikit, mengetahul latar belakangnya, memahami mengapa peristiwa
terjadi. Jangan pernah mempelajari sebuah perkara dalam sekejab karena
persiapan tidak akan matang dan tidak akan menjadikan hasil tulisan berbobot.
Syarat ketiga,wartawan harus
menguasai bahasa yang dipergunakan penerbitan di mana dia bekerja. Kalau di
Indonesia, jelas harus bisa berbahasa Indonesia. Kelihatannya sangat lucu kalau
orang Indonesia masih diragukan kemampuan berbahasa Indonesia-nya. Namun tak
sedikit pengelola penerbitan yang mengeluhkan jeleknya bahasa Indonesia para
wartawan baru, terutama dalam soal ejaan dan tata bahasanya. Memang, setiap
orang mempunyai gaya tulisan tersendiri, akan tetapi, setiap orang yang punya
pekerjaan menulis berita, harus mampu menggunakan bahasa tersebut dengan baik
dan benar. Bahasa ini menjadi krusial mengingat peran surat kabar juga sebagai
cermin dan panutan bagi masyarakat dalam berbahasa Indonesia yang baik dan
benar.
Menurut Kantor Wilayah Departemen
Penerangan Bidang Pers dan Penerbitan, standar jurnalistik bagi jurnalis
adalah:
1.
Menyesuaikan diri
dengan kaidah jurnalistik yang benar, minimal tulisan mudah dimengerti orang
lain.
2.
Menguasai dan
mengungkapkan persoalan secara kronologis terungkap dan teliti.
Secara teknis, laiknya tentara, jurnalis
harus sabar. Dalam melakukan kegiatan, wartawan harus banyak berhadapan dengan
beragam karakter dan segala macam ketergesaan, serba cepat ataupun tugas
menunggu sehingga hampir menggigit seluruh kesabaran yang tersedia. Selain
pekerjaan yang menarik, menegangkan dan serba kilat dan cepat, ada pula
pekerjaan rutin yang membosankan, di mana harus menunggu berita atau nara
sumber berjam-jam lamanya tanpa kepastian.
Secara umum, bekerja sebagai penulis
berita sama juga halnya dengan profesi lainnya, yakni harus mempunyai berbagai
karakter yang dimiliki orang banyak. Pada umumnya, orang-orang yang menanjak
kariernya adalah orang-orang yang memodali dirinya dengan berbagai kualitas
terbaik yang bisa dimiliki. Caranya, dengan selalu belajar untuk meningkatkan
keahlian. Misalnya belajar mengatasi rasa malu dan tidak sabar atau problema
lain yang berhubungan dengan orang lain. Bila hal ini sudah dimaklumi, memulai
pekerjaan sebagai wartawan bisa dimulai saat ini pula, mulailah dengan
menuliskan biografi diri, dll. @
SUMBER PUSTAKA
Jurnalistik Pendekatan Teori & Praktik; Asep Saeful Muhtadi MA (Jakarta, Logos Wacana Ilmu),
1999.
Dasarnya dasar Jurnalistik, Redi Panuju, Jurnalistik, (Malang, Bayu Media), 2005.
Pedoman untuk Wartawan, Albert Hester dan Wai Lan J To, (Jakarta, yayasan
Obor), 1997.
Manajemen Penerbitan Pers, Drs Totok Djuroto Msi (Bandung, Remaja Rosda Karya),
2002.
Bagaimana Menjadi Wartawan, ML Stein (Jakarta, Rineka Cipta), 1993.
Melejitkan Iq,IE dan IS, Suharsono (Jakarta, Inisiasi Press), 2004.
Metode Diskusi Dalam Dakwah, Drs Abdul Kadir Munsyi, DIP AD, ED (SUarabaya, Al
Ikhlas), 1981.
Jurnalistik Masa Kini, Pengantar ke
Praktik Kewartawanannya, Dja’far H Assegaff
(Surabaya, Ghalia Indonesia), 1991.
Keterampilan Bertanya dan Menjelaskan, Jos Daniel Parera (Jakarta, Erlangga), 1993.
Menulis Artikel & karya Ilmiah, Drs Totok Djuroto Msi (Bandung, Rosda), 2003.
Karier Jurnalistik, John Tebbel (Semarang, Dahara Prise), 1997.
Jurnalistik Dakwah, Sutirman Eka Ardhana (Yogyakarta, Pustaka Pelajar),
1995.
Penyebab Gagalnya Dakwah, jilid 2, DR Sayyid M Nuh (Jakarta, Gema Insani Press),
1998.
Pers Tak Terbelenggu, Departemen Luar Negeri AS (Jakarta), 2004.
Berita di Balik Berita, David S Broder (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan), 1996.
Feature Bercerita Apa Saja, Masmiar Mangiang (Jakarta, LPDS), 2004.
Comments