Dewi
Satria Elmiana elmianadewi@gmail.com
Bertumpu pada ontologi
pendidikan yaitu “apa” yang seharusnya diajarkan di sekolah dan Perguruan
Tinggi?. Kurikulum pendidikan mesti dapat memberikan reformasi terhadap
pendidikan Indonesia. Namun demikian, yang menjadi catatan saat ini tidak hanya
“apa” yang harus di ajarkan di sekolah, namun bagaimana pendidikan dapat memicu
terjadinya perubahan dalam masyarakat tertentu. Artinya, lembaga pendidikan
bertanggung jawab atas terciptanya SDM yang baik untuk kemajuan Daerah.
Pengukuran terhadap mutu pendidikan tidak dapat dilihat dari kuantitas belaka,
tetapi prestasi kualitas harus menjadi tujuan utama. Orientasi pendidikan tidak
hanya menghasilkan para pencari kerja atau pemburu CPNS, tapi pendidikan menciptakan
komunitas kecil dalam masyarakat yang berfikir lebih strategis dan luas dalam
perspektif untuk pembangunan dan perubahan yang lebih baik.
Lembaga pendidikan tidak harus
menciptakan masyarakat baru dengan orientasi Seeking Job, tapi harus
berorientasi pada manusia dengan tingkat kreatifitas ide-ide dan gagasan
perubahan dalam masyarakat yang berorientasi pada Creating Job. Inilah
terminologi pendidikan yang harus di implementasikan di daerah yang baru atau
daerah otonomi baru.
Yang menarik dalam perhatian
saya adalah, pertama, fenomena PNS yang dijadikan sebuah tolak ukur dari
kebanyakan masyarakat Indonesia untuk mencapai sebuah pengakuan diri akan
sebuah kesuksesan karir. Lulus CPNS sama dengan harga diri dan derajat
meninggi, sehingga muncullah para sarjana muda yang terkesan “dipaksakan” lulus
dengan title yang dipaksakan pula. Seperti contoh sederhana yang sering muncul
yaitu ketika tenaga yang dibutuhkan seperti guru, tenaga medis, tenaga
professional, dan lain-lain. Akibatnya orang beramai-ramai bahkan berebutan
untuk memperebutkan posisitersebut.
Hal ini dapat dibuktikan dari orientasi
pendidikan dalam minat jurusan yang diambil mahasiswa pada Perguruan Tinggi. Dalam
dunia kerja, hal ini wajar saja terjadi. Orang akan memilih suatu pilihan jursan
sesuai dengan kesempatan dunia kerja dan profesi. Namun dalam upaya menciptkan pendidikan
sebagai kunci perubahan, orientasi pendidikan yang “sempit” itu harus menjadi perhatian
penting.
Kedua, yang
menarik dari persoalan diatas adalah munculnya disorientasi pendidikan dalam masyarakat.
Pendidikan sebagai olah hati, olah rasa, dan olah raga bagi setiap lapisan masyarakat
berubah menjadi semacam ruang sempit yang berisi manusia-manusia tanpa kreatifitas
dan ide-ide perubahan yang lebih inklusif. Cara berfikir ini melahirkan perspektif
yang sempit dalam masyarakt terhadap dunia penididikan. Pendidikan dianggap hanya
sebagai upaya untuk mendapat kan kerja. Orang tua akan berupaya semaksimal mungkin
untuk pendidikan anaknya asal dapt kerja, sayangnya sang anak, pun tidak mengerti tentang
tanggung jawab pendidikan dalam masyarakat. Pendidikan hanya diliht dari perspektif
kerja.
Persoalan ini tidak saja menimbulkan
disorientasi pendidikan dalam masyarakat. Melainkan, berbahaya bagigenerasi masa
depan. Harusnya, ditanamkan dalam generasi untuk melakukan ide-ide perubahan dan
pengembangan ilmu pengtahuan sehingga menjadi manusia terdidik dengan orientasi
Creating Job.
Cara berfikir masyarakat yang
demikian tidak hanya terjadi di daerah pingggiran. Dalam masyarakat perkotaan
pun hal ini sudah biasa terjadi. Pendidikan sebagai kunci perubahan harus dapat
melahirkan manusia dengan tingkat ide, gagasan, dan kreatifitas sebagai modal
pembangunan daerah. Semoga kita dapat merealisasikannya. Amiiin.
Comments