Komersialisasi Mahar Dalam Masyarakat Sasak

Oleh : Muzakkir S.


Mahar sebagai salah satu intstrumen yang urgen dalam ritual pernikahan di semua agama, suku, ras dan golongan, sehingga eksistensi mahar tidak bisa diabaikan apalagi disepelekan. Dalam dimensi ruang agama (red. Islam), mahar memiliki ruang fleksebelitas atau ma’ruf  yang berimplikasi pada penegasian ruang gerak atas batas dari mahar tersebut. Pada dasarnya Islam tidak memberikan standar tertentu tentang berapa nominal atau nilai dari suatu mahar, tetapi Islam menyediakan ruang yang sangat fleksibel sehingga tidak seorang pun dapat memiliki otoritas dalam penentuan mahar. Namun dengan kehadiran budaya di masyarakat, secara pasti selalu merubah dan berupaya harmonis dengan ajaran agama. Kearifan lokal selalu menjadi jurus jitu dalam mengharmoniskan hubungan agama dan budaya atau akulturasi dari keduanya menjadi amunisi dalam mengkanter wacana-wacana negatif. Bukan bermaksud tidak menghargai budaya, sebagai suatu keharusan maka budaya sudah seharusnya dijaga, dilestarikan dan patut menjadi kebanggaan. Namun bukan berarti tidak ada ruang kritik dan ruang revolusi dalam budaya tersebut.
Fenomena budaya merariq (perkawinan) di masyarakat Sasak menjadi kajian yang selalu menarik untuk diteliti, dikaji dan didiskusikan. Banyak ritual dan nilai filosofis yang melekat dalam budaya merariq tersebut. Mulai dari proses pra-nikah, proses nikah dan proses pasca nikah sarat dengan nilai budaya dan nilai agama. Mahar menjadi ritual pra-nikah yang dapat menentukan proses nikah dan pasca-nikah. Di masyarakat Sasak proses tawar menawar mahar atau negosiasi dalam penentuan nominal/nilai mahar terkesan atau bahkan sarat dengan nilai bisnis dan ekonomi. Apapun alasan dan pertimbangan dari kedua mempelai khususnya dari keluarga sang calon istri sepanjang dalam proses mbait wali dominasi pertimbangan ekonomi dan stratifikasi sosial menjadi penentuan mahar yang paling kuat. Indikasi dan wacana yang muncul di permukaan adalah orang tua merasa telah membesarkan anak gadisnya sejak kecil dan telah banyak menghabiskan dana, sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua untuk mendapatkan ganti rugi dari calon menantu dalam usaha membesarkan anaknya tersebut.
Fleksebilitas mahar seharusnya bebas dari intervensi dan tendensi dari semua pihak, namun yang terjadi adalah adanya intervensi dalam penentuan mahar oleh beberapa pihak dalam hal ini orang tua, tokoh adat bahkan melibatkan semua keluarga pihak perempuan. Sehingga mengganggu pemiliki otoritas mahar yang sesungguhnya yaitu calon istri. Standar mahar di masyarakat Sasak ditentukan oleh tingkat sosial dan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat sosial keluarga perempuan dan semakin tinggi tingkat pendidikan calon istri maka nilai tawar akan semakin tinggi. Sebaliknya semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan maka semakin rendah nilai ekonomis yang ditawarkan. Di sinilah ruang kritik dalam budaya merariq tersebut, bahwa sakralitas nikah yang didasarkan cinta akan bisa pudar hanya dengan nominal standar mahar. Hemat penulis, seharusnya otoritas mahar dikembalikan kepada calon istri tanpa intervensi dan tendesi dari orang tua, yang patut menjadi pertimbangan bersama mestinya adalah faktor agama calon menantu.
Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad menentukan mahar secara kasuistik dan masih abstrak. Pada satu kesempatan nabi memberikan standar mahar yang mahal, dan pada kesempatan lain standar mahar yang ditawarkan sangatlah murah. Inilah ruang yang diberikan sebagai standar penentuan mahar. Seharusnya dalam penentuan mahar orang tua mempertimbangkan asas kemampuan calon menantu, sehingga tidak menghambat pelaksanaan nikah. Jadi, mahar tidak boleh diabaikan dan diremehkan, tetapi tidak boleh memberatkan dan mengekang.


Comments