Oleh. Ishak Hariyanto
(Calon Magister Filsafat
Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
email-ishakharianto@yahoo.co.id
Begitu
kompleksnya kultural masyarakat sangat, namun karena adanya kompleksitivitas
ini maka kita memiliki ruang gerak untuk melihat sasak dari berbagai macam
ragam serta sudut pengetahuan. Dalam hal ini penulis ingin melihat sasak dalam
sudut pandang “filsafat etika”. Etika kultural masyarakat sasak sebenarnya telah
lama mengendap dalam tubuh masyarakat sasak yang kadang tidak kita sadari, diantara
etika kultural masyarakat sasak tersebut adalah—konsep kebersamaan, kebahasaan,
keramah tamahan, membantu satu sama lain, kekeluargaan, kepedulian. Semua konsep
etika ini sangat kuat dalam tradisi masyarakat pada tahun (80-2000). Nuansa
kultural masyarakat sasak seperti ini bagi penulis masih sangat alami dan memiliki
nuansa yang penuh dengan ketenangan. Tulisan yang singkat ini tentunya tidak
bisa mengcover secara keseluruhan etika kultural masyarakat sasak, akan tetapi paling
tidak ada beberapa yang cukup representatif yang dianggap penting untuk
diklarifikasi.
Etika kultural
masyarakat sasak yang dimaksud disini adalah aturan-aturan, awik-awik desa,
local wisdom yang terdapat dalam masyarakat sasak. Konsep etika yang terdapat
dalam masyarakat sasak ini sebenarnya adalah suatu hal yang menarik untuk kita
gali secara secara mendalam karena memilki makna secara filosofis. Dan tentunya
etika yang terdapat dalam tubuh masyarakat ini sebenarnya sebagai dari
identitas, kekuatan positif serta jati diri masyarakat sasak ketika
bersinggungan dan bahkan bertemu dengan entitas kultural masyarakat lain di
luar sasak. Konsep-konsep etika kultural dalam masyarakat sasak yang mampu
penulis angkat dalam hal ini adalah—etika kebersamaan, kebahasaan, keramah
tamahan, membantu satu sama lain, dan etika kepedulian. Semua konsep ini ketika
melebur dan bertemu dengan entitas lain di luar sasak; menjadi sesuatu yang tidak berharga lagi dan
bahkan redup dimakan oleh zaman dan kita tidak mampu menyadarinya bahwa konsep-konsep
tersebut telah hilang. Etika kultural masyarakat sasak tersebut jangan dimaknai
secara normatif, akan tetapi harus dimaknai dengan konteks hidup kita di era
millenium ketiga ini—dan terlebih lagi, kita tarik dalam sebuah kajian yang
membutuhkan pemaknaan kembali dengan konteks kekinian kita sebagai
identitas sasak. Identitas sasak ini
yang rasa penulis tidak lagi muncul dalam kultural masyarakat sasak, nuansa
etik yang dulu kental sebagai identitas sasak saat ini redup dimakan oleh
zaman. Keberadaan nuansa etika ini bagi penulis hanya terdapat di desa-desa
atau di perkampungan, akan tetapi kalau dalam konteks perkotaan konsep etika
kultural ini sudah lama redup dan
menghilang. Memang globalisasi berpengaruh besar terhadap (world view)
masyarakat sasak, sehingga berdampak pada robohnya sendi-sendi kultural yang
dari “etika positif menuju etika keredupan”. Meskipun arus global telah merubah
ragam kehidupan masyarakat sasak akan tetapi paling tidak kita pernah merasakan
atmosper etika kultural yang masih alami seperti ini.
Tujuan dari
tulisan yang singkat ini sebenarnya untuk mendeskripsikan etika yang terdapat dalam
kultural masyarakat sasak yang telah lama redup, dan bahkan hampir menghilang.
Etika kultural tersebut adalah kebersamaan, kebahasaan, keramah tamahan,
membantu satu sama lain dan kepedulian. Konsep etika tersebut yang penulis namakan
etika kultural masyarakat sasak yang alami dan telah meredup. Memang sejauh
analisis penulis akibat meredupnya etika kultural masyarakat tersebut adalah akibat
dari pengaruh zaman yang berbeda, matrealisme dan individualisme. Akan tetapi
pengaruh-pengaruh ini jangan dimaknai sebagai suatu akibat yang negatif semata,
akan tetapi malah berakibat yang positif yakni pada tataran kedewasaan dalam
menjalani kehidupan, persaingan membangun kekayaan, pendidikan dan aspek-aspek
sosial lainnya. Untuk mengembalikan etika kultural masyarakat sasak tersebut memang
agak sulit, karena struktur masyarakat serta etika kehidupan masyarakat telah
berbeda. Meskipun sulit bukan berarti tidak mungkin—karena untuk mengembalikan nuansa etika kultural
tersebut dibutuhkan kesadaran dalam diri kita serta diluar kita sebagai bagian
dari struktur masyarakat sasak. Andaikan dalam tulisan ini dituntut untuk
mencari problem solving; tentu saja dibutuhkan kajian yang lebih serius dan
mendalam untuk mencari jawabannya dan bahkan perlu untuk didiskusikan dalam
forum-forum keilmuan guna membangun etika kultural masyarkat sasak yang lebih
dinamis dengan konteks zaman.
Comments