Oleh
Agus Dedi Putrawan
agusdediputrawan@gmail.com
Abstrak
Sejarah telah
membuktikan dirinya, bahwa suatu peradaban akan tumbuh dan berkembang sesuai
semangat peradaban. Jika ada kelahiran peradaban, maka konsekuensinya adalah
pasti ada kematian peradaban, pun demikian halnya dengan suatu peradaban, ada
kalanya ia mencapai masa ke-emasan dan pada ujungnya toh mengalami kemunduran
juga. Namun di era globalisasi di mana dunia seolah disatukan dalam satu terma
yakni modernisasi, di mana kemajuan eropa dan amerika (barat) masuk begitu
cepat ke pelosok-pelosok desa guna menciptakan satu peradaban dunia (global).
Percepatan transportasi dan telekomunikasi, migrasi rill social menuju cyber
social seakan mengamini proses modernisasi tersebut.
Muncul kedaulatan baru
(kapitalis di Negara ke tiga) yang mampu mengalahkan kedaulatan Negara dalam
istilah “the new form of sovereignty” atau format baru yang menurut Antonio
negri dan Michael hardt adalah the empire atau kekaisaran. Otoritas agama dan
otoritas Negara sudah terbelenggu kekuatan ekonomi capital di dunia ke tiga,
mereka di akali suntikan dana dan iming-iming untuk menghadapi krisis di akar
rumput (oleh word bank dan IMF) tak ayal dalam kehidupan rill mereka seakan
menjadi singa ompong yang seelalu di elu-elukan rakyat. Untuk memperkuat
posisinya, the empire ini enciptakan organisasi-organisasi no pemerintah dari
kaum pribumi yang siap menyerang dari bawah, dengan semboyan soft powernya.
Inilah yang Habibie sebut dengan imperialism wajah baru, dalam arti bukan orang
luar saja yang menggerogoti sumberdaya Indonesia tapi juga orang Indonesia
sendiri ikut-ikutan.
Sehingga manifestasi
dari semuanya adalah gejala-gejala yang tampak pada tataran kulit dasar dan
lagi-lagi rakyat harus menelan pil pahitnya. Untuk tidak mengatakan sering,
sesekali symbol agama dan budaya menjadi komoditi yang empuk guna mencapai
tujuan, misalkan dalam satu daerah terkandung sumberdaya alam seperti emas,
uranium, besi gas, dan lain-lain dalam tanahnya. Maka isu suku, agama, ras
digulirkan agar menjadi konflik dan akhirnya tujuan tercapai.
Konflik ketika
pembebasan lahan bandara internasional terjadi clash of civilization di antara
orang luar dan orang dalam. Begitulah the empire bermain, rakyat hanya tahu
masalah aliran sesat, perang suku, beda ras dan lain-lain yang itu hanya
permasalahan sepele namun”media” sebagai (kaki tangan capital) mem-blow up,
seakan ikut taruhan dalam duel “sabung ayam” tersebut.
The empire tengan
kekuatan ornop-nya (swasta) merubah segala aspek kehidupan menjadi serba
komoditi, semua hal sebagai pasar. Kesehatan tanpa uang pihak rumah sakit ogah
melayani, pendidikan tanpa uang hanya orang kaya yang dapat sekolah misalkan di
perguruan tinggi. Kemiskinan, dengan adanya kemiskinan maka proyek-proyek
fiktif dalam rangka pemberdayaan sekaligus pementasan kemiskinan hambur.
Social, sudah jarang orang berinteraksi dalam forum-forum classic diganti
dengan media social. Dan lain sebagainya.
Suku sasak dalam
kubangan modernisasi
Pertayaan pertama yang
muncul dalam pembahasan ini adalah bagaimana eksistensi suku sasak dalam
menghadapai gesekan dunia global ini. Suku sasak yang mayoritas adalah orang
islam tidak mungkin mampu membendung arus globalisasi, mereka akan kehilangan
identitas ketika terlena dalam alunan kenikmatan modernisasi. Agama sebagai
benteng terakhir juga akhir-akhir ini kualahan akibat dari tokoh-tokoh agama
yang steriotipe sekaligus terlalu open tanpa menyaring. Di satu sisi ada
kecurigaan sehingga menutup diri dan terjadi seemua diharamkan. Di sisi lain
terlalu open terhadap perkembangan, misalkan terjadi ketimpangan-ketimpangan di
akar rumput seperti, kerusuhan, kenakalan remaja, dan patologi social lainya.
Jual beli symbol-simbol agama untuk memenuhi pesanan kampanye merebak di
mana-mana, seolah agama menjadi komoditi baru di abad ke 21 ini.
Masyarakat eropa
sebelum renaisans mengalami masa-masa sulit, kebodohan, perbudakan, monopoli
raja dan gereja membatasi ekpresi masyarakat social pada waktu itu, peralihan
dari hunter gather society ke argo literal society membuka gerbang perubahan
menuju industrialisasi society, yang kemudian orang-orang sudah tidak terikat
lagi kepada raja dan gereja, selanjutnya timbul istilah skuler, kapitalisme,
modernity, nasionalisme, sosialisme, akibat dari riak-riak perjuangan
masyarakat eropa. Eropa sudah sukses dengan kemodernisasiannya, sekarang mari
kita tengok dunia dalam skup yang lebih kecil yakni masyarakat sasak.
Budaya adalah hasil
karya karsa manusia, budaya tidaklah abadi, budaya mengalami dinamisasi, tumbuh
dan mati seiring berjalannya waktu. Kita sadari bersama, lambat laun sasak juga
akan tergerus oleh modernisasi apabila tidak ada perhatian dari
pemerhati-pemerhati semisal tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, LSM,
akademisi ikut mengawal, memprotect modernisasi. Budaya rembuk, gotong royong
arus kembali dihidupkan, penghargaan terhadap budaya sebagai local wisdom perlu
ditingkatkan. Festival rakyat perlu dimanipulasi untuk mengawal dan beradaptasi
dengan modernisasi. Media sebagai penyampai berita juga perlu dimanfaatkan
dalam merekam kebudayaan classic, dan kontemporer saat ini guna generasi baru
tetap mengenal identitas budayanya sendiri. Forum-forum budaya diskusi dan
tulisan kaum terpelajar diperlukan sebagai agent of protect mengawal
modernisasi yang kebablasan. Terakhir peran pemangku kebijakan, keperdualian
dan apresiasinya terhadap keberadaan agama dan budaya wajib diakomodir.
Comments