Oleh; Lukmanul Hakim
Pendahuluan
Kemenangan
Partai keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki menimbulkan debat filsafat
tentang parta-partai Islamis dan demokratis. Ia memutus rantai tua para
pendahulu Islamis dibawah kepemimpinan Erdogan. Riset opini public menunjukan:
dukungan terhadap AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) tidak berbanding lurus
dengan dukungan bagi Islamisme semata. Isu-isu praktis seperti kinerja ekonomilah
yang nampaknya justru jauh melampaui daya pikat ideologis dan religiusnya.
Inilah wajah AKP hari ini: kurang Islamis dan lebih Pro Barat, pro pasar, dan
populis.
Menurut
Ihsan Dagi, guru besar Hubungan Internasional di Universitas Teknik Timur
Tengah (Ankara) dan penulis Turkey Between Democracy anad Militarism: Post
Kemalist Perspectives (2008), perubahan AKP tersebut dapat diringkas sebagai
pergeseran dari “Islam Politik” ke “Islam sosial”.
Profil singkat AKP
Partai Keadilan dan Pembangunan (bahasa Turki:
Adalet ve Kalkinma Partisi), (bahasa Inggris: Justice and Development Party)
didirikan pada tahun 2001 oleh sejumlah anggota partai yang telah ada
sebelumnya.[1]
Beberapa tokoh pendirinya yaitu Recep
Tayyip Erdogan, Abdullah Gul, Bulent Arinc.
AKP
(Adalet ve Kalkinma Partisi) memenangi pemilu 12 Juni 2011 dengan suara
mayoritas; melampaui jajak pendapat menjelang pemilu yang memprediksi AKP
memperoleh 47 persen suara. Diluar itu perolehan suara AKP yang sudah mengikuti
tiga kali pemilu terus mengalami kenaikan sejak tahun 2002 memperoleh suara
34,43%, di tahun 2007 naik menjadi 46, 47% suara, dan terakhir pada 2011
memperoleh 49,85% suara.
Didukung 21.441.303 suara, AKP berhasil
mendapatkan 326 kursi parlemen. Dengan 59,3% kursi yang dimiliki AKP ini, AKP
bisa kembali membangun pemerintahan tanpa perlu koalisi. Namun demikian, Erdogan
tetap membuka kesempatan untuk berkoalisi dengan partai lainya.[2]
AKP
Turki mencitrakan sebagai partai pro-Barat dalam system kepartaian Turki yang
memperjuangkan agenda nilai-nilai konservatif bangsa Turki dan system ekonomi
liberal. Selain itu agenda lainya yaitu memperjuangkan bergabungnya Turki ke
Uni Eropa.[3]
Tokoh-tokoh AKP
Di tubuh partai AKP terdapat beberapa tokoh
penting yang menjadi ikon penggerak partai ini, tokoh-tokoh yang ada di
internal partai merupakan orangorang yang sejak awal memiliki komitmen kuat
untuk mendirikan partai dan berjuang atas nama keyakinan ideologis mereka
dengan didukung oleh kesamaan pandangan di antara mereka, di antara tokoh-tokoh
itu tiga orang tokoh penting yang memiliki peran dominan yakni Recep Tayyip
Erdogan, Abdullah Gul dan Bulen Arinc.
Recep Tayyip Erdogan, lahir pada tahun 1954 di Kasimpasa,
sebuah kawasan penduduk kelas menengah ke bawah kota Istanbul. Ayahnya adalah seorang nahkoda sebuah Agen
Kelautan milik negara dan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga. Untuk
membantu pemasukan keluarga Erdogan kecil adalah penjual lemon, rempah-rempah,
roti dan juga air minum di jalanan. Sehingga ia cukup familier dengan kehidupan
rakyat kecil dengan beragam kesusahan yang ada di dalamnya, sekaligus kelak
menjadi salah satu kantong suara yang membawa diri dan partainya memenangi
pemilihan kepala daerah.
Inspirasi hidupnya banyak dipengaruhi oleh
empat faktor, yaitu: Ayah, Kasimpasa, Guru dan Sufisme. Sebelum memasuki dunia politik Erdogan
termasuk beruntung karena mengenyam pendidikan modern dengan karir cemerlang.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Imam Hatip School (setingkat SMA di
Indonesia), ia meraih gelar B.A. dari jurusan Ekonomi dan Perdagangan
Universitas Marmara di Istanbul tahun 1980. Selain menguasai bahasa ibu, ia
juga dikenal mampu berbahasa Arab dan Inggris. Ia pernah bekerja sebagai
Ekeskutif Manajer di beberapa perusahaan swasta yang bergerak di bidang
penjualan makanan. Ketertarikannya dengan dunia politik dan bisnis berawal sejak ia masih
sangat muda, pada usianya yang ke 15 pada tahun 1969 Erdogan telah bergabung
dengan National View Association (Milli Gorus Teskilati), sebuah lembaga underbowaktor intelektual baik
untuk Partai Orde Nasional (PON)/ National Order Party ataupun Partai
Keselamatan Nasional (PKN)/National Salvation Party (MSP). Tidak lama berselang
ia kemudian dipercayakan untuk memimpin divisi pemuda partai MSP untuk daerah
atau distrik Beyoglu di Istanbul. Pada tahun 1984, ia menjadi ketua umum Partai
Kesejahteraan/Welfare Party (Refah Partisi) Cabang Beyoglu. Pada tahun
berikutnya ia dipercayakan untuk menduduki jabatan administratif Partai
Kesejahteraan di tingkatan provinsi Istanbul.
Pada tahun 1986, Erdogan terpilih menjadi
ketua umum Partai Kesejahteraan/Refah di Istanbul. Pada tahun 1989 ia
dicalonkan menjadi kepala daerah di daerah pemilihan Beyoglu dengan motor
politiknya Partai Refah, meski kalah namun bagi Partai Refah adalah sebuah
kemenangan tertunda dengan indikasi perolehan suara yang meningkat cukup
signifikan jika dibandingkan dengan pemilihan sebelumnya. Pada pemilihan kepala
daerah tahun 1994, Erdogan kembali dicalonkan untuk jabatan yang lebih tinggi
yakni walikota kota metropolitan Istanbul. Dengan keyakinan tinggi akhirnya
Erdogan bersama Partai Refah mampu mengungguli kandidat lain dari tokoh penting
nasional.
Kemampuannya pada bidang manajemen cukup
membantu dalam pembenahan partai yang dipimpinnya, ia selalu berupaya sekuat
tenaga untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Ia berhasil membawa
angin segar perubahan pada tubuh partai baik pada struktur politik maupun
kultur yang bersih yang ingin dibangun. Termasuk ketika menjabat sebagai
walikota Istanbul, Erdogan mampu mengubah kota itu menjadi lebih cerah, bersih
berkembang pesat dengan infrastruktur memadai.
Pada tahun 1998 oleh Komisi Pemilihan
Umum (Superior Election Board) membekukan kekuasaannya sebagai kepala daerah
karena dianggap telah berbuat inkonstitusional di depan publik, ia dituduh
menebar kebencian bernuansa SARA, "menebar kebencian keagamaan" di
muka umum, "kejahatan melawan negara". Dalam pidatonya, ia mengutif
puisi karangan Ziya Gokalp, "bapak nasionalisme Turki" yang
mengatakan "the mosques are our barracks, the domes are our helmets, the
minarets our bayonets, and faithful our soldiers" ("masjid adalah
barakku/ kubah adalah topi bajaku/menara bayonetku/ dan iman adalah
serdaduku.,meskipun di Turki kutipan seperti ini banyak ditemukan di buku-buku pelajaran
sejarah. Akibat perbuatan tersebut Erdogan yang juga pernah menjuarai lomba
debat di sekolah dan menjuarai lomba membaca puisi di Istanbul tahun 1973
kemudian dijatuhi hukuman penjara selama sepuluh bulan dan tidak diperkenankan
untuk melakukan aktifitas politik, namun tidak lama setelah itu, sekitar empat
bulan, ia dibebaskan karenadianggap telah beriktikad baik selama menjalani
hukuman. Di penjara, Erdogan banyak bergaul dengan para narapidana
mendiskusikan banyak hal tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan dilakukan
untuk membawa Turki lebih baik, di sana ia juga bagaikan seorang martir sejarah
dengan dukungan ribuan pendukung, di penjara tanpa ada rasa sedih ia kemudian
mengidentikan dirinya sebagai "Nelson Mandela milik Turki."
Setelah keluar dari penjara tidak
membuat bapak dari empat anak ini lunak, ia malah semakin berani namun tetap
elegan, bermain politik secara jantan menunjukkan kepada publik bahwa ia adalah
politisi sejati yang selalu taat akan aturan hukum. Sikap taat hukum tersebut
bisa jadi dipengaruhi oleh karakter yang terbangun sejak usia muda. Erdogan
yang juga pemain bola profesional ketika masih muda, saat diminta untuk ikut
melakukan aksi protes terhadap pemerintah, ia menolak karena menurutnya hal itu
tidak sesuai dengan konstitusi yang berlaku.
Dari riwayat hidupnya, terekam bahwa ia
adalah sosok dengan karakter keislaman yang kuat, ia mencoba menegaskan
identitas diri sebagai muslim dan dalam batas-batas tertentu mengikuti alur
pemikiran elit sekulerisme, Nuran Yildiz dari Universitas Ankara memiliki kesan
terhadap Erdogan sebagai sosok yang "berteman dengan surga, hidup dengan
hati nurani, hatinya terisi penuh dengan puisi-puisi, dan menjadi wacana
simbolis."Ia seringkali menggunakan terminogi Islam atau kalau tidak substansi
Islam untuk mengekspresikan kehidupan sehari-harinya.
Kepindahan bersama ayahnya dari kawasan
Laut Hitam bagian utara Turki ke Istanbul diasosiasikan sebagai sebuah hijrah
(hicret) emigrasi seorang nabi (Muhammad) dari Mekkah ke Madinah 622 SM untuk menghindari
serangan musuh-musuh. Ketikamenjabat sebagai walikota Istanbul, ia mengumumkan
dirinya sebagai seorang imam kota itu. Ketika dikritik oleh sejumlah kalangan
ia menepisnya dengan alasan (bagi seorang imamdalam kesehariannya di Turki
adalah sebuah proses ibadah seorang pemimpin), Erdogan menegaskan, "Ketika
anda mendengar kata imam, anda hanya berfikir tentang seseorang yang memimpin
ibadah sholat di masjid. Dalam Islam, imamadalah orang-orang yang memiliki
otoritas untuk mengatur atau memimpin". Tidak hanya itu, dalam setiap awal
sesi pembukaan di kantor administrasi walikota acara selalu dibuka dengan
menggunakan Fatihah. Aneksasi
simbol-simbol Islam terkadang oleh banyak pihak disalahartikan dan disalahgunakan
untuk memahami karakter Islam Erdogan.
Abdullah Gul,lahir di Kayseri pada tahun 1950. lulus
dari Istanbul University menyandang gelar B.A. pada bidang ekonomi tahun 1971,
kemudian meraih gelar Ph.D. dari universitas yang sama pada tahun 1983. Ia juga
menyempatkan menempuh ilmu di di Exter dan London.
Pada yayasan Sakarya University Industrial
Engineering Department. Ia mengajar mata kuliah bidang ekonomi antara tahun
1980-1983. Dari tahun 1983 sampai 1991 ia bekerja sebagai pakar ekonomi di
Islamic Development Bank, Jeddah. Ia juga termasuk salah satu anggota Associate
Professor on International Economics tahun 1991.
Tahun 1991, ia terpilih sebagai salah satu
anggota Parlemen dari Partai Refah. Menjadi anggota Komisi Perencanaan dan
Penganggaran di parlemen. Pada tahun 1993, ia ditunjuk sebagai Deputi Ketua
Partai Refah untuk urusan Luar Negeri (Foreign Affairs). Pada tahun 1995 ia
kembali terpilih menjadi anggota parlemen. Menjadi anggota komisi urusan luar
negeri. Dari tahun 1996 sampai tahun 1997, dipercaya memegang jabatan Menteri
Negara dan Pemerintah merangkap Juru bicara.
Pada tahun 1999, ia terpilih kembali untuk
ketiga kalinya menjadi anggota parlemen namun dari partai Kebajikan (Virtue
Party). Dari tahun 1992 sampai tahun 2001 menjabat sebagai Anggota Komisi
Parlemen Dewan Eropa (Parliamentary Assembly of the Council Europe). Menjabat
selaku anggota Komite Parlemen bidang Kebudayaan, Pendidikan dan Politik untuk
Dewan Eropa (Committee on Culture and Education and Political Committee of the
Council of Europe Parliamentary Assembly). Pada tahun 2001 ia dianugrahi
Penghargaan Pro-merito oleh Dewan Eropa dan menjadi anggota Kehormatan pada
Assosiasi Perhimpunan Parlemen Dewan Eropa.
Pada bulan Agustus, bersama Erdogan ia
mendirikan Partai AKP. Ia ditunjuk oleh presiden Ahmet Necdet Sezer menjadi
Perdana Menteri Turki yang baru pada tanggal 16 November 2002. pada tanggal 19
November 25 anggota kabinetnya dilantik dan diambil sumpah jabatan.
Pemerintahan yang baru meraih kemenangan dengan suara meyakinkan di Parlemen
Turki (TBMM) pada 28 November.
Setelah larangan untuk melakukan aktifitas
politik bagi rekannya Erdogan, Gul kemudian meletakkan jabatan Perdana Menteri.
Selama di lingkaran Pemerintahan ke 59 Turki, ia pernah menduduki jabatan Menteri
Luar Negeri, Anggota Parlemen, Dewan Pimpinan AKP bidang politik dan hukum dan
termasuk salah satu anggota Perhimpunan Parlemen NATO. Pada bulan Agustus 2007,
ia dipilih oleh mayoritas Parlemen sebagai Presiden Republik Turki ke 11.
Berbeda dengan Erdogan, Gul termasuk sosok yang memiliki karir cemerlang di
bidang politik, ia tidak banyak mendapat sorotan dan permusuhan berlebihan jika
dibandingkan dengan yang dialami Erdogan, namun keduanya memiliki kesamaan
pandangan dalam hal modernisasi nilai-nilai keislaman dalam konfigurasi
perpolitikan di negeri yang telah menyalahartikan dan menyalahgunakan konsitusi
warisan Kemalisme-Turkisme oleh sebagian besar elit mereka.
Bulent Arinc, lahir pada tahun 1948 di Bursa, Turki. Ia
pernah mengklaim bahwa Dervis Mehmet, salah seorang pemimpin revolusi partai di
Menemen Incident yang dipimpin langsung oleh Kubilay, adalah kakek Arinc. Namun
klaim tersebut oleh beberapa kalangan di parlemen disanggah yang kemudian
menyatakan bahwa kakek Arinc bukanlah Darvis Mehmet, melainkan Ahmet Efendi.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah
di Manisa, ia melanjutkan studinya pada University of Ankara, meraih gelar
Bacelor of Laws (Sarjana Hukum) pada tahun 1970. Disamping menekuni aktifitas
pendidikan ia juga aktif bekerja di salah satu kantor pengacara freelance di
Manisa.
Bulent Arinc menikah dengan dikarunai dua
orang anak, satu di antaranya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Ia
mulai tertarik bergelut dengan dunia politik sejak berada di lingkungan
universitas, Bulent Arinc memulai karir politik dengan menjadi kepala daerah di
Manisa pada pemilu tahun 1995, dan kemudian menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Turki melalui partai Refah (Welfare Party). Ia juga
menjadi salah satu petinggi di partainya, dan di parlemen duduk pada komisi
bidang hukum atau yurisdiksi. Ketika partai Refah dibubarkan oleh Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 15 februari 1998, ia pindah ke Fazilet Partisi (Virtue
Party / partai Kebajikan). Arinc kembali terpilih sebagai kepala daerah Manisa
pada pemilihan umum tahun 1999, kali ini diusung oleh Fazilet Partisi. Ia
menjadi salah satu anggota komisi idang luar negeri di parlemen.
Mahkamah Konstitusi kemudian juga
membekukan Partai Fazilet pada tanggal 22 Juni 2001. Bulent Arinc, yang juga
dekat dengan Recep Tayyip Erdogan, menjadi salah satu pelopor berdirinya partai
AKP pada tahun yang sama pada bulan Agustus tanggal 14. Setelah memenangkan
pemilu para kader partai AKP yang duduk di parlemen kemudian menunjuknya sebagai
Juru Bicara Parlemen (Ketua Parlemen).
Demokrat Konservatif
Sejak berdiri pada 2001 AKP menolak cap
“Islamis” dan menyebut dirinya gerakan politik “demokrat konservatif”,menurut
Erdogan dalam kongres AKP “ Kami menyebut diri kami demokrat konservatif”[4]. Toh,
masih ada elit yang belum percaya pada klaim in; pada 2008 Jaksa Agung
menggugat ke Mahkamah Konstitusi, meminta AKP ditutup. Alasannya ia menjadi
pusat kegiatan antisekuler. Isu lama pun mendapat momentum legal: apakah AKP mau
mengislamisasi masyarakat dan Negara Turki? Dalam pembelaan formal, AKP
menegaskan: selama kekuasaanya demokrasi diperkuat dan kebebasan diperluas,
tapi komitmen terhadap prinsip sekularisme telah menyebar ke kelompok-kelompok
social lebih luas.
Para
pemeimpin AKP memang para kader-kader kubu Islamisme yang dikenal dengan
“gerakan wawasan nasional”; inilah organsasi pertama di kancah politik Turki,
dipimpin Necmettin Erbakan. Islamisme merujuk pada aktivisme politik yang
bertujuan membentuk masyarakat islami melalui sarana Negara.
Dakwaan
Jaksa Agung itu tidak tepat. AKP lebih pas disebut “konservatif” kanan-tengah
yang dikenal dalam tradisi politik Turki. Riwayatnya dapat dilacak sejak 1970,
ketika partai politik berorientasi Islam dibentuk oleh kader-kader “wawasan nasional”.
Tahun berikutnya MK menutup partai itu karena “mengancam prinsip sekularisme
konstitusional”. Vonis ini kemudian menjadai perlakuan standar bagi
partai-partai yang didirikan oleh kelompok yang sama; yang terakhir adalah
Partai Kebajikan (ditutup, 2001) yang anggota-anggotanya termasuk para pendiri
AKP.
Gerakan
Islamis lalu menerapkan taktik takiyye, menyembunyikan identitas Islam untuk
mengelak dari pukulan konstitusi yang konstan membayanginnya. Mereka
mengembangkan komunikasi public melalui symbol dan tindakan, dengan akibat
kekaburan argumentasi politik. Mereka mengecam westernisasi sebagai
“pengkhianatan terhadap tradisi bangsa dan nilai-nilai spiritual’. Tujuannya adalah membangun identitas Islam
tanpa terang-terangan melanggar azas konstitusi tentang sekularisme. Ketika MK
menutup Partai Kebajikan pada 2001, gerakan ini terbelah. Sayap “tradisionalis”
mendirikan Partai Felicity (FP), grup moderat membentuk AKP, dipimpin Recep
Tayyip Erdogan, walikota popular Istanbul yang kerap mempersoalkan ideology,
kepemimpinan, dan gaya politik tradisional. Tak sampai setahun, AKP meraih 34
persen suara dalam pemilu legislative, menjadi mayoritas di parlemen (FP
mendapat 2 persen). Pada pemilu 2007, AKP mendapat 47 persen suara, lebih dari
cukup untuk memastikan kekuasaan periode kedua. Prestasi ini langka dalam
politik Turki.
Dengan
klaim “ democrat konservatif”, AKP menyatakan tamatnya ideology, termasuk
Islamisme. Program partainya disebut “demokrasi dan pembangunan”. AKP juga
memastikan akan memperioritaskan keikutsertaan dalam Uni Eropa- yang sejak lama
dicibir para pemuka “wawasan Nasional” sebagai “klub Kristen” – dan dengan
demikian niscaya akan mengisi sejarah Turki dengan modernisasi dan
westernisasi.
Tranformasi
ini mungkin disebabkan pelajaran strategis yang mereka terima karena “proses 28
Februari” 1997, ketika militer sekularis menjatuhkan koalisi pemerintahan
pimpinan Erbakan, membubarkan partai Kesejahteraanya, dan menggencarkan
serangan sitematis terhadap jaringan ekonomi dan social Islamis. Sebelum
peristiwa ini, kelompok-kelompok Islam, termasuk tokoh-tokoh AKP yang kala
ituterlibat dalam gerakan “wawasan nasioanal”, tak pernah serius memandang
demokrasi. Namun di tengah gelombang proses 28 Februari itu, kaum Islamis sadar
mereka berdiri di sudut devensif terhadap kekuatan mapan sekularis-Kemalis.
Impian tentang Ilamisasi Negara dan masyaraktpun punah sudah; sebagian Islamis
menyatakan ide tentang Negara Islam telah gagal.
Banyak
elemen Islam yang kemudian menarik dukungan dari gerakan Islamis. Mereka lalu
memilih konservatif-tengah, yang diharap bisa membantu merawat jaringan
social-ekonomi Islam. Lalu ide Islam “social” mulai mantap. Jalanpun membentang
bagi transformasi Islam politik dan kemunculan AKP. Bagi pimpinan AKP, sudah
terang Islam politik itu berlawanan dengan pengaruh social-ekonomi Islam di
Turki. Mereka pun memancang garis “ democrat konservatif”, yang dirasa mampu
menawarkan jalan keluar bagi tumbangnya Islam politik seperti mereka alami pada
akhir 1990an.
Pengalaman
pribadi Erdogan juga berperan dalam menggeser orientasi tokoh-tokoh AKP dari
“pengawal Islamis” menjadi plitisi pragmatis. Sebagai walikota Istanbul, ia
mengerti betapa program layanan public dengan mudah mengalahkan ideology.
Pemilih local ingin jalan raya dan pengolahan sampah yang baik, bukan
eksperimen-ekperimen muluk untuk mengubah masyarakat. Manajer kota terbesar
Turki ini memetik pelajaran berharga dari sana. Selain itu motto Islami favorit
Erdogan, “melayani rakyat adalah melayani Allah”., ampuh dalam menjastifikasi
dan juga mensekulerkan garis kebijakan baru AKP.
Lingkaran
muslim di luar AKP pun mulai menggunakan bahasa lebih moderat tentang isu-isu “
panas” seperti masalah jilbab. Jika mereka lantang menyatakan bahwa memakai
jilbab itu wajib hukumnya bagi perempuan, pada akhir 1990an mereka menyebut
isu-isu semacam ini bukan sebagai keawajiban muslim, tetapi sebagai isu HAM
untuk mengkritik pelarangan kerudung di kampus-kampus.
AKP di Panggung Kekuasaan
Strategi
berlindung di balik ide universal itu melebar ke isu-isu lain. Alternatif bagi
sekularisme Kemalis tak lagi dicari dalam Islam, tapi pada konsep dan
pranata-pranata politik modern seperti demokrasi, HAM, dan rule of law. Bagi
Islamis yang gelisah dan ingin terlindung dari kekuatan mapan sekuler-Kemalis,
tuntutan Uni Eropa yang menekankan demokrasi, HAM, dan pluralism juga merupakan
sumber bantuan yang
sangat dibutuhkan pasca 1997.
Pertanyaan
Islamis tentang “cara mengakomodasi Barat dan nilai-nilai serta pranata politik
modernnya”, makin penting diliat dari kuatnya tekanan kaum sekuler dan Kemalis.
Bagi AKP, bahasa HAM dan demokrasi beserta hasrat menjadi anggota UE ini
membuka pintu pengembangan koalisi liberal-demokrat dengan sayap-sayap modern
dan sekuler di dalam dan di luar negeri.
UE
memantau ketat demokrasi Turki, terutama sejak 1999. Pada 2005 UE membuka perundingan resmi dengan
Turki-di bawah pemerintahan AKP Turki dinyatakan “ telah cukup memenuhi”
criteria politik Kopenhagen. Ini pengakuan tegas bahwa kinerja AKP sesuai
dengan matriks demokratisasi dan Eropanisasi (bukan matriks Islamisasi). AKP
juga menyusun kebijakan yang mengaitkan diri dengan ekonomi global, dan
melanjutkan keejasama dengan Dana Moneter Internasioanal. Erdoga menjalankan
program privatisasi yang sukses dan mendorong investasi asing, yang tumbuh dua
puluh kali lipat di masa kekuasaan AKP. Semua ini menumbuhkan ekonomi pasar,
bisa memperkuat demokrasi dan membuat masyarakat Turki kian terbuka. Begitulah,
“Islamis” AKP menempatkan Turki di jalur menuju
globalisasi, bukan Islamisasi.
Jalan
yang dibentangkan oleh AKP menuju
integrasi penuh Turki dengan UE menandai tuntasnya tekad Turki menjadi bagian
Barat. Integrasi dengan Barat dan pemeliharaan identitas Islam (pada level
masyarakat, bukan Negara) tak lagi dipandang saling eksklusif-ini pergeseran
radikal dari sikap tradisional Islamis.
Dukungan
public terhadap langkah AKP berintegrasi dengan UE ini pun besar; survey
Pollmark pada Maret 2008 menemukan 68 persen pemilih AKP menyetujuinya; angka
ini hampir 10 poin lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Dengan demikian,
AKP mendorong transformasi structural rakyat Turki untuk menjauh dari
Islamisasi. Tiada lagi peluang untuk membentuk pemerintahan Islam, karena keanggotaan
UE menutup kemungkinan itu.
Inspirasi
Untuk Indonesia?
Bagaimanapun,
garis sekularis-Kemalis tersebut tidak relistis, sebagaimana tak relitisnya
garis Islamis yang ternyata gagal setelah empat dasawarsa diperjuangkan. Kini,
para eks Islamis yang berhimpun dalam AKP harus memilih bukan hanya atas
alasan-alasan persona, melainkan terutama karena pertimbangan-pertimbangan
strategi politik yang realistis, menghadapi batas-batas social, politik dan
institusional yang menghadang di depan upaya-upaya kaum Islamis lama.
Dilihat
dari berkah akhirnya, alasan-alasan tersebut mungkin kurang penting. Pada
akhirnya yang penting adalah makin sejahteranya rakyat Turki dari segi ekonomi,
social, dan politik. Integrasi penuh Turki dengan UE tentu bisa mempercepat modernisasi
kehidupan segenap rakyat, tanpa meninggalkan identitas budaya mereka. Sukses
gemilang AKP siapa tahu menginspirasi partai-partai politik Indonesia-tentu
termasuk yang tak berlatar belakang Islamis.
Comments