Di sore ini hari tampak gelap,
matahari sudah siap-siap menggelintirkan dirinya kebawah dengan pelan-pelan
tampak sunsetnya begitu indah
dipandang mata hingga lambat laun akhirnya lenyap dari pandangan, sementara aku
dan teman-teman ku masih sibuk
mencari pohon padi, pohon padi
yang masih mempunyai sisa-sisa butiran yang melekat pada dahannya, maklumlah
cara panen di tempatku belum memakai mesin jadi setiap penen pasti banyak
sisa-sisa yang tertinggal. Kami kumpulkan satu demi satu pohon padi tersebut.
“ayuk dah Ani kita pulang, udah azan tahu!” Atun mengajaku pulang, ia
adalah salah satu dari sahabat baikku dari kecil. Besok hari minggu, tiga hari
lagi ia bakal melangsungkan pernikahan bersama orang asing (orang yang tidak
dia kenal sebelumnya) yang telah datang melamarnya sebulan yang lalu,
dengar-dengar kabar burung bahwa orang asing itu adalah sosok seorang pelaut,
maksudnya orang yang bekerja di kapal laut, sayangnya Atun tak tahu siapa
namanya, dia hanya bertemu sekilas saja,
“gemana Tun ganteng?” tanyaku
waktu itu.
”yah lumayanlah, tapi bukan itu
yang penting, mudah-mudahan dia perhatian jadi suami yang baik”.
“amin”. serentak
Di desa kami anak perempuan yang sudah
beranjak dewasa harus segera mencari pasangan alias pacar kemudian
menjadikannya suami, kalau tidak dengan terpaksa mereka akan dicarikan jodoh oleh
orang tua masing-masing meskipun mereka tidak mengenal siapa bakal calon yang
dijodohkan dengannya itu.
“yuk dah lagian habis magrib kita
akan yasinan di rumah haji Muksin, undang ketua ramaja kemarin” kataku kepada
Atun.
“iya aku tahu, kan aku yang ngasi tahu kamu
ni” katanya agak sedikit nyindir ke tulalitan
ku.
“Aniiii tunggu” teriak Mira dari
kejauhan melambai-lambaikan tangan.
Tampak Mira dan adik-adiknya
mendekati aku dan Atun, “ayuk dah kita pulang bareng”.
Percakatan, guyonan mengiringi langkah kami di tengah-tengah perjalanan pulang.
Selang beberapa menit kami sudah tiba di
depan gapura kampung kami yang bercat
putih campur kuning itu bertuliskan SELAMAT DATANG DI KAMPUNG DUKU dan
ditumbuhi tanaman menjalar di tiap tiangnya.
Sesampai di rumah Ibu sudah
menyambutku dengan senyum hangatnya, ayahku adalah seorang buruh tani, ia
bekerja di sawah milik haji Muksin terkadang ia juga bekerja dengan kelompok
panen, kelompok yang tergabung hanya ketika musim panen tiba.
“dapat banyak ya?” Tanya ibuku.
“Alhamdulillah lumayan buk”
jawabku.
“udah dapat pacar? Hehe” Tanya
ibuku lagi, pertanyaan yang sering dilontarkan kepadaku, dan saking seringnya aku sudah hafal kalimat
itu.
“ ibu ini gimana sih baru tiga
bulan lulus SMA udah ngomong-ngomong pacaran” jawabku ketus,campur sebel.
“wusss, lihat teman-teman mu udah banyak yang bekeluarga, Atun tuh
lihat juga, hari minggu akan dinikahi orang kaya……….” . “mau jadi perawan tua
kamu?” lanjutnya mendesakku.
Memang adat macam apa ini, kaum
laki-laki lebih diutungkan, kakakku contohnya tidak pernah ditanya dengan
pertanyaan yang sama dengan yang ku
alami ini, sekolah tidak harus
tinggi-tinggi karena sudah pasti akan
dibawa pergi oleh suami kelak. Kakaku sudah tiga tahun ini tak ada kabar dia
pergi merantau ke arab malaysia.
“udah aku capek, mau mandi
kemudian yasinan kerumah haji
Muksin” kataku mengakhiri percakapan itu
dengan segera.
………………@
Satu tahun sudah berlalu, tak
banyak hal yang berarti yang terjadi dalam tenggang waktu yang begitu panjang
itu. Atun dan sempat beberapa kali mengirimkan surat kepadaku,”Ani sahabatku
bagaimana kabarmu, semoga baik-baik saja……”. Dalam isi surat tersebut ia
menggambarkan betapa ia bahagia mempunyai suami, hidupnya tertata, berubah 180
derajad dari pada tinggal di kampung, ia juga menulis ia akan segera menimang
bayi dan masih banyak lagi hal-hal yang ia ceritakan yang membuatku merasa iri.
Pikiranku Kembali terfokus untuk mencari pacar, pikiran itu datang di
benakku. Bagaimana aku bisa mendapatkan
seorang laki-laki yang akan melamarku sementara aku seorang wanita tidak
terlalu banyak bergaul. Apakah aku harus
mempromosikan diriku dengan cara meminta bantuan teman-temanku?.. ah itu tidak
seharusnya aku lakukan, aku seperti perempuan yang lain yang hanya
menunggu-menuggu sang pujaan hati dating, sampai sekarang pun aku tak pernah
tau bagaimana rasanya punya pacar. Dulu waktu SMA aku tergolong penutup, tidak
pernah bersolek, tomboy, selalu ku jauhi pergaulanku dengan laki-laki. Meskipun
dulu ada sosok laki-laki yang mau dan sudi mendekatiku,dan dia itu tidak lain adalah
Amar, dia adalah kakak kelasku, anak kota yang sok pintar, sok kegantengan
selalu membuatku kesal, ia selalu menjadi sok jadi pelindungku ketika terlambat
masuk kelas, maklum dia anak kepala sekolah, selain itu, dia juga menjadi ketua
osis waktu itu. saat itu aku baru kelas satu dan dia sudah kelas tiga.
Oh iya Amar, bagaimana kabarnya
sekarang?, setelah sekian lama tidak melihatnya, perasaan rindu ini timbul kataku
dalam hati. Bebarapa kali aku menyobek, mencabik-cabik surat cintanya di depan
teman-temannya termasuk di depannya juga,
namun ia malah tak surut satu langkahpun dari niatnya itu, waktu itu aku
berfikir kasihan, tapi aku juga berfikir aku masih ingusan belum tau apa-apa. Sempat
tersiar kabar dia sudah kuliah di kota, di Perguruan Tinggi Negeri pilihan
bapaknya yang tidak lain adalah kepala sekolah SMA kami. Di sini, di kampung ini
aku hanya berkutat di dalam rumah, kalau tidak begitu aku pergi mencari padi,
namun musim padi sudah berakhir satu bulan yang lalu, ya Tuhan di manakah
jodohku?.
“Aniiiii, Aniii, ada kiriman surat nih”ibuku
memanggil tergopoh-gopoh mendekatiku.
“oh, pak post surat dari siapa?” tanyaku.
“sudah nanti juga bakalan tahu, hehe” senyum
simpul tukang post itu sambari menjawab pertanyaanku.
Mungkinkah tukang post ini adalah jodohku,
sosok yang ku tunggu-tunggu, aku tak peduli wajah atau tampang, yang penting sosok
laki-laki yang dikatakan Atun itu berlaku padaku.
……………..@@@@
Malam ini ku sempatkan diriku
membaca surat yang diantar tukang post kemarin, mudah-mudahan dari Atun atau
mudah-mudahan dari Mirna kedua sahabatku itu kini entah di mana, mereka dibawa
para pangeran mereka menuju tempat yang begitu indah, tempat yang di idam-idamkan
kaum hawa di kampong ini untuk memulai kehidupan baru dan akan mempunyai anak
dan keturunan. Lantas pangeran buatku
mana?, aku tak tahu.
Ternyata tebakanku meleset, surat
itu dari Amar. “hai Ani bagaimana kabarmu? Semoga kamu baik-baik, maaf aku
mengganggu aktivitasmu akibat surat yang ku kirim ini. Sebenarnya surat ini
telah lama inginku kirim namun sempat tertahan” surat yang agak pudar tulisanya
itu aku baca dengan teliti takut ada kata yang terlewatkan penglihatanku.
“aku takut kamu membakar kertas
surat ini sebelum kamu membaca isinya, oh iya aku sering melihatmu di sawah
ayahku sebelum aku pindah ke kota, sempat ada niat untuk memanggilmu tapi kamu
keburu pergi. Aku juga sering kerumahmu tapi kamu tak pernah ada di rumah”
ternyata Amar selama ini masih mau denganku walau aku sering tak membalasnya
dengan positif.
“Ani, di sini aku sambil bekerja
di trevel milik pamanku dan tinggal satu tahun ini aku akan wisuda, mohon
doanya ya” Amar juga menaruh fotonya di
belakang suratnya, senyum lebar yang membuatku kagum padanya, senyum itu yang
selalu kulihat di sekolah dulu, senyum tak patah semangat itu masih
terngiang-ngiang dalam pikiranku.
“Ani ini nomer…………………………………………………………..”
tulisan pada surat itu terpotong tintanya pudar terkena air hujan, atau mungkin
karena terlalu lama disimpan sehingga seperi ini. Aduh gemana ini.
Tanganku tiba-tiba takberdaya,
pikiranku kacau balau setelah tahu surat tersebut tak beralamat.
………….@@
Hari demi hari kujalani kutunggu
surat selanjutnya namun sial kurasa, tak pernah ku lihat tukang post itu lewat
depan rumahku lagi dengan harapan dapat
ku tanyakan keberadaan si pengirim surat.
“Ani coba lihat foto-foto ini,
kira-kira yang kamu mau yang mana? Biar bapak jodohkan kamu dengan salah satu
orang itu, biar dia bisa melamarmu minggu depan!”. Tiba-tiba ayahku menyodorkan
beberapa foto yang terikat karet berwarna merah, lalu ku buka ikatan itu
kemudian ku lihat satu demi satu foto tersebut namun tak satupun aku sreg dengan mereka,”ayah aku endak ah, masak seumuran ayah sih!” sambilku menggeleng-gelengkan kepala.
Ayah ku tampak kecewa dengan keputusanku itu namun aku tahu ayahku akan
mengerti keadaanku saat ini.
“iya udah ndak apa-apa, kamu yang
sabar saja ya, tapi jangan sampai mereka lebih datang dahulu melamarmu karena ayah tak enak menolak lamaran yang
pertama itu juga sudah jadi aturan desa kita” ayahku memang orangnya pendiam
namun dalam diamnya itu ada kebijakannya sebagai seorang ayah yang penyabar.
Tiba-tiba ibu datang dari balik pintu. “Ani tuh anaknya pak Rohim si Arman yang baru pulang dari Malaysia
selalu menanyakanmu setiap ibu lewat di depan rumahnya, dia Tanya apakah kamu sudah punya calon,
kalau mau dia bersedia melamarmu minggu ini” lain halnya dengan ibuku, di malah
lebih cerewet lebih girang suka bercanda, dan tak jarang candanya membuat seisi
rumah tertawa terbahak-bahak.
“bi, Ani nya ada?” terdengar suara yang tak
asing di telingaku.
“oh, siapa ya?” Tanya ibuku.
“Amarrrr!” kataku kegirangan di
dalam kamarku.
“iya buk maaf nama saya Amar anak
pak Mahfud” kata Amar kepada ibu.
“oh, pak Mahfud kepala sekolah
kampung sebelah ya?” Tanya ibu ku lagi.
“iya benar bi”.
“kalau begitu silahkan masuk,
ngomong-ngomong sekarang tinggal timana Mar?” .
“saya dan ibu pindah ke Mataram, karena bapak
di pindah kesana jadi kamipun juga membeli rumah di sana”.
“terus rumah yang di sini di
apakan?”.
“rumah yang di sini sudah di jual
buk sekalian sama sawah di belakang rumah”
“sebentar dulu ya nak Amar, bibi
panggil Ani”.
“Nggiih bi”
Malam itu adalah malam yang begitu
indah bagiku, karena aku bertemu dengan sosok yang aku tunggu, setelah sekian lama menunggu
kedatangannya akhirnya dia datang juga. Amar mengajakku pergi ke pasar malam ia
membelikan ku kerudung, ia juga mengajaku naik rona-rona. Malam itu kami berbicara
panjang lebar.
“ Amar aku minta maaf sebab dulu
aku sudah....”
“ udah lah jangan di lanjutkan,
aku sudah lupa hal itu”
Tak terasa hari kian tua,
waktunya kami pulang kerumah masing-masing, Amir menginap di rumah pamannya,
sementara itu dia mengantarku pulang dan berpamitan dengan ibu dan ayahku.
...............@@@
Berbeda dengan malam itu, pagi
menjelang siang ini hatiku sudah tidak karuan, ada apa dengan rumahku pagi
begini sudah ramai. Ternyata ayahku menyepakati niat sahabatnya yang
menjodohkanku dengan anaknya, tak tahu apa yang harus aku lakukan, ingin
rasanya aku teriak atau mungkin aku kabur saja, tapi ah hal itu tak
menyelesaikan masalah, lagian bapak dan
ibuku pasti akan malu dengan tingkahku itu.
Ternyata Arman datang bersama
rombongan keluarga berniat melamarku keputusan bukan ada pada diriku keputusan
ada pada orang tuaku, apapun keputusannya aku wajib harus menerima meskipun
pahit akan ku alami kelak. Yang membuat hatiku hancur adalah di tengah-tengah
keramaian tampak sosok Amar dan ayahnya dari
kejauhan, matanya berkaca-kaca seolah-olah ingin memanggilku. Meskipun Amar
tidak pernah menyatakan cinta malam itu namun aku yakin dia masih mencintaiku,
ia tampak sedih akupun demikian namun apalah dayaku aku tak mampu menolak
takdir yang telah tertulis padaku.
“ya Allah berikan yang terbaik padaku” kataku
dalam hati.
Aku hanya bisa mengintip dari
celah pintu kamarku apa yang terjadi di ruang tamu, apapun keputusannya aku
layaknya teman-temanku Atun dan Mirna menerima keputusan keluarga, sempat ku
mendengar perkataan yang agak tidak jelas itu bahwa aku sudah akan di
persunting sabtu ini berarti tinggal dua hari lagi. Perasaan apa ini? ketidak
puasan, ketidak cocokan dalam hati ini meronta-ronta, seandainya ada kesempatan
lagi inginku katakan kepada Amar bahwa aku cinta kepadanya, dan aku akan
memintanya untuk melamarku sehingga hal yang aku khawatirkan ini urung terjadi.
Timbang-menimbang akhirnya ayah
dan ibuku menyepakati. Aku tak berdaya waktu seakan terhenti dunia terasa
kosong aku pun sontak pingsan...
...............@@@@@
Hari sabtu.
Hari ini segala persiapan sudah kelar, keputusan orang tuaku sudah aku
terima meskipun akan menghancurkan hatiku, habis magrib akad nikah akan
dilaksanakan. Apakah aku siap memulai hidup baru dengan orang yang tidak aku
kenal sama sekali tingkah lakunya, atau apakah aku bisa mencintainya
sebagaimana cinta yang mulai tumbuh kepada Amar seorang.
“Ani ayuk dah kita ke mushola
akad nya akan segera dimulai, kamu yang tabah ya” kata ayahku.
“ayah, ibu mohon doa restunya”
kataku sambil menangis.
Langkahku goyah, kepalaku
tiba-tiba pusing
“ aku harus kuat sampai ke
mushola” kataku dalam hati menyemangati diri sendiri.
Setiba di mushola sontak
membuatku kaget, bercampur bingung apa yang sebenarnya terjadi?,
bukan Arman yang duduk di tempat yang sudah di
sediakan itu namun orang lain, Amar duduk di sana. Amar tersenyum padaku dan
memperbaiki cara dan gaya duduknya.
Amar dan Arman adalah misan hanya
saja Arman tidak seberuntung Amar, Arman pergi merantau ke Malaysia sehingga ia
jarang terlihat di kampung. Waktu itu Amar meminta misannya itu untuk melamarku
dengan dalih ia tidak berani sendiri, lantas kenapa aku tidak terfikir tentang
keberadaan pak Mahfud waktu. Aku tak tahu hasil dari proses pelamaran itu
karena pingsan, sudahlah yang jelas hari ini aku sudah di sampingnya, hal yang
tak terduga tak ada dalam pikiranku akan seperti ini, “terimakasih Allah”....
Sekian..
By: Agus Dedi
Comments